twenty-seven

6.3K 259 10
                                    

Pukul sepuluh malam. Raka terdiam menatap pintu apartemennya sendiri yang tertutup dalam perasaan kalut. Bau rokok menyengat kuat dari tubuhnya, rambutnya acak-acakan dan cowok itu seperti hilang akal.

Cowok itu mendongak, menatap pintu besi tersebut tanpa terpikir untuk membukanya sekarang. Jujur ia takut untuk membukanya. Ia juga takut pada siapa yang telah menunggunya di dalam.

Veronica.

Astaga. Memikirkan nasib cewek itu membuat bahu Raka lemas. Seberapa kuat pun cowok itu berusaha untuk pura-pura tidak ada apa-apa, siapa pun tau kalau itu semua bohong. Nyatanya isi kepalanya mau pecah, yang ingin ia lakukan sekarang cuma satu : membawa Veronica pergi jauh dari semua kegilaan ini.

Ponselnya bergetar singkat, menampilkan satu pesan masuk yang kembali mengganggu ketenangan yang sedang ia cari sekarang.

Serra :
Gw tunggu jwbn lo besok:)

Raka mencoba mengesampingkan itu semua dan memberanikan diri untuk membuka pintu. Suasana hangat langsung menyambut, rumahnya telah menunggu di sofa, dalam balutan sweater bergaris off white-army.

Seluruh rasa lelah yang bercampur dengan pusing itu terasa hilang. Raka merasa pulang kini ke tempat ternyamannya.

“Hai.”

Veronica yang sedang menonton film dokumenter entah apa tersenyum kecil. “Hai.”

Raka melepas sepatu dan jaket denimnya, beringsut maju untuk memeluk cewek itu dan menenggelamkan wajah di cerukan leher perempuannya yang wangi.

Veronica tersenyum sembari mengelus punggung kokoh itu lembut. “Kenapa?”

Raka cuma menggeleng.

“Capek? Laper? Mau makan? Aku masak lho.”

Wajah Raka sedikit menjauh, ada senyum kecil di bibir menggoda itu. “Kamu masak?”

Perempuannya mengangguk lucu.

Raka bangun, menggendong Veronica di depan dan membawa mereka ke ruang makan. Di sana ada masakan sederhana yang cewek itu buat. Nasi goreng.

Raka duduk di salah satu kursi masih tetap menggendong Veronica sambil membawa piring putih itu mendekat. Waktu Veronica berusaha bangun, cowok itu malah menahan pinggangnya. “Udah di sini, jangan jauh-jauh.”

Veronica menunjuk kursi di sebelah cowok itu. “Aku cuma mau duduk di situ, emang kamu mau makan sambil pangku aku gini?”

“Iya, sayang. Udah ya diem? Aku kan mau makan.”

Veronica akhirnya pasrah.

Raka mulai melahap nasi goreng buatan perempuannya dalam tenang. Awalnya cowok itu sempat terdiam, nasi goreng berwarna merah itu pedesnya minta ampun, tapi Raka tetap melanjutkan makan demi menghargai cewek itu.

“Enak?” Veronica bertanya cemas.

Raka mengangguk. “Enak.”

Lima menit nasi goreng itu habis berpindah ke perut Raka. Cowok itu langsung meneguk segelas air putih untuk mendinginkan lidahnya yang terasa terbakar.

“Kok kamu kayak yang kepedesan?”

“Hah? Nggak.”

“Nasi gorengnya pedes?”

Cowok itu mengangguk. “Sedikit.”

Melihat pipi cowok itu yang memerah dan matanya yang sedikit berair, Veronica jadi kelabakan. Cewek itu tanpa sadar memukul lengan Raka. “Kok nggak bilang sih kalo pedes? Kenapa malah diabisin?!”

she. | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang