twelve

12.5K 385 7
                                    

“Ka, gue pengen Burger King.”

“Ka, pengen nasi goreng.”

“Ka, pengen mie tek-tek.”

“Ka, pengen sate kambing.”

“Ka, pengen ice cream.”

“Ka, pengen minum.”

“Pengen coca cola.”

“Gue pengen snack, Rakaaaaaa~”

“Mau apa lagi, cantik?” Raka tersenyum penuh kesabaran. Baru jam sebelas siang, tapi dia udah bolak-balik hampir sepuluh kali.

Kali ini Raka membawa plastik putih besar berisi aneka makanan ringan. Kalau aja cowok itu gak inget kata-kata dokter yang bilang Veronica gak boleh stress, kayaknya dia udah ngamuk.

“Hehe udah, makasih Rakaaaaa.”

“Untung sayang.”

“Hah? Apaan?” tanya Veronica penasaran karena tadi Raka ngomongnya super pelan, kayak bisik-bisik. Sedangkan Veronica budeg.

“Nggak. Lo udah minum obat?”

“Apaan sih lebay banget. Gue bukan sakit yang gimana juga kali.”

Iya, elo 'cuma' mau bunuh diri aja, Ve. “Minum obatnya.”

Seenggaknya dokter kasih obat penenang dan antibiotik.

“Iya, iya. Nanti gue minum.”

“Sekarang. Gue pengen liat tuh obat masuk ke tenggorokan lo.”

Veronica mendengus dengan wajah cemberut. Diambilnya beberapa obat yang udah disediain sama suster di atas meja bersama sup rumput laut dan juga air putih. Veronica menatap butiran-butiran obat itu, memelototinya, lalu menegak si obat dalam sekali teguk air.

“Issshh, pait.”

“Obat mana ada sih yang manis.”

“Raka ambilin coklaaaaaat.”

Raka menghela nafas pelan lalu berjalan mengambil coklat batang yang dibelinya dari dalam plastik. Cowok itu beli banyak coklat karena katanya coklat bisa bikin mood lebih baik.

Sambil memperhatikan Veronica yang lagi ngunyah coklatnya dari sofa, cowok itu pura-pura membaca koran.

“Ka.”

“Hmm.”

“Masa sih gue mimpi elo bilang i love you ke gue, pake nangis segala lagi.”

Kalo aja Raka lagi makan atau minum sesuatu, tuh cowok udah pasti keselek. Untungnya dia lagi baca koran, dan lembaran koran yang besar bisa nutupin mukanya yang panik.

“Cuma mimpi aja kan.”

“Tapi kayak nyata. Suara lo kayak deket bangetttttttt.”

“Ngaco. Gue mana ada bilang begitu. Nangis? Lo pikir gue cowok apaan?”

Raka membalik korannya, pura-pura kelihat santai padahal aslinya tuh jantung udah kayak lagi naik roller coaster. Kacau.

“Iya juga sih. Lo kan udah ada Calista.”

Raka diam. Terakhir kali mereka ngomongin Calista, mereka berantem dan berakhir Veronica jadi di dalam bahaya.

Makanya saat Veronica tertidur setelah meminum obat, Raka cabut ke sebuah kafe di mana Calista udah nunggu di sana. Sebelum itu ia menelpon orang kepercayaannya dulu buat jagain Veronica selagi dia pergi.

Kafenya lumayan ramai dan ada live music juga. Calista udah duduk di salah satu kursi yang menghadap jendela besar berpemandangan taman. Ketika cewek itu melihat Raka masuk, dia langsung tersenyum.

“Hai, Ka.”

“Cal. Gue mau ngomong sesuatu sama lo.”

“Buru-buru amat. Pesen dulu minum dong.”

Raka mengangguk walaupun sebenarnya ia enggan. Cowok itu memesan ice americano, lalu kembali menoleh pada Calista.

“Cal,”

“Ka,”

“Lo duluan.”

“Kamu dulu aja.”

“Gue mau ini diudahin aja.”

Senyum Calista perlahan-lahan menyurut dan cewek itu keliatan bingung. “Maksud kamu udahin?”

“Selama ini gue gak ada perasaan sama lo, Cal. Gue pacaran sama lo karena Veronica yang maksa, dia tau lo suka banget ke gue, dan waktu itu gue juga lagi kesel Veronica deket sama Rafe.”

Raut wajah Calista berubah pias. Ada sorot ketidakpercayaan yang dibarengi dengan sorot sedih. Calista bahkan sampe gak bisa ngomong apa-apa.

“Gue tau gue brengsek. Cewek sebaik elo gak pantes sama cowok kayak gue. Gue gak suka sama lo, Cal, gue dari dulu sukanya sama Veronica.”

Raka tau omongannya mungkin bakal nyakitin hati cewek di depannya. Tapi Calista berhak tau, cewek itu gak pantes terus dibohongin. Meskipun Raka brengsek, tapi dia tau akhirnya dia ngelakuin hal yang bener.

Salah satunya ya dengan kasih tau Calista soal perasaannya.

“Are you ... sleep with her?”

Raka tidak menjawab, tapi Calista tau persis apa jawabannya.

Calista tersenyum pahit. Cewek itu mengangguk-angguk kecil. Air mata udah mengenang di pelupuk matanya. “But you sleep with me too. That was my first..”

“Maaf, waktu itu gue lagi mabok. Gue udah paksa lo buat balik, tapi lo—”

Plak! Calista menampar pipi Raka kencang. Nafas cewek itu memburu dan Calista bahkan udah nangis.

“Maaf, Cal.”

Cuma itu yang bisa Raka bilang. Dia brengsek, dia tau itu, dan cuma ini satu-satunya cara supaya gak ada pihak yang tersakiti lagi.

“Lo udah tidur sama temen gue selama ini dan lo pacaran sama gue? Bagus banget emang lo berdua. Dua bulan ini gue di bego-begoin sama lo dan Veronica—”

“Please, jangan benci Veronica. Dia gak tau apa-apa, Cal. Dia udah ngejauh dari gue, dia udah nyuruh gue buat buka hati ke elo—and i try, i swear i try—tapi gue gak bisa. Gue cintanya sama Veronica.”

“Dan menurut lo dengan begitu Veronica bakal keliatan lebih baik?” Calista menggeleng. “Anjing. Lo naif banget sih.”

Dan begitulah, Calista menarik tasnya lalu pergi dari sana. Meninggalkan Raka yang cuma bisa menunduk dengan pipi memanas.

This is the best. Raka berusaha ngeyakinin dirinya sendiri.

***

ada yang nyadar gak sih di sini tuh sebenernya Raka egois banget? Raka tuh definisi 'so casually cruel in the name of being honest'😂

she. | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang