epilog

11.6K 337 41
                                    

Milan. Akhirnya ia ada di Milan. Kota yang dipenuhi bangunan-bangunan klasik, berarsitektur, dengan nilai seni yang tinggi dari segala bidang.

Tempat Raka lahir, tempat cowok itu tumbuh sampai umur sepuluh tahun.

Dear My Veronica,

Aku nulis surat lagi. Entah kenapa ini jadi satu kebiasaan baru buat aku. Walaupun aku nggak tau kapan surat-surat yang aku tulis ini bakal sampai ke tangan kamu.

Kalau aku masih hidup, sepertinya ini bakal terus aku simpan.

Egois atau aneh?

Veronica, aku menulis surat ini di pesawat menuju Milan. Mama marah, karena katanya aku sekarang lupa pulang. Padahal bagi aku, 'rumah' itu kamu.

Untuk apa aku jauh-jauh pergi ke Milan, kalau rumah aku selalu ada di depan mata?

Veronica, aku benci kamu selalu melabeli something between us is 'friends with benefit'. Karena jujur-walaupun kamu mungkin akan berpikir aku naif-aku sama sekali gak mencari keuntungan di kamu.

Aku cuma perlu cukup bersyukur aja. Nggak. Aku, harus, banyak-banyak bersyukur karena ada kamu.

Veronica, aku ingin mengajak kamu ke Milan sebenarnya. Aku ingin menunjukkan ke kamu kota kelahiran aku, kota di mana aku pernah tumbuh sampai usia sepuluh tahun.

Keputusan aku untuk belajar di Indonesia, ternyata bukan keputusan yang salah. Karenanya, aku dan kamu bertemu.

***

Sepatu biru itu ia goyang-goyangkan. Ia bosan. Jujur, ia begitu tertarik pada stand makanan yang ada di depannya sekarang. Tapi karena bahasa Indonesianya belum terlalu lancar, ia bingung harus bagaimana.

Mungkinkah ia tanya dengan bahasa Inggris?

Tiba-tiba ada seorang bocah duduk di sebelahnya. Sebenarnya Raka tidak akan menyadari itu, kalau saja si bocah duduk tidak pakai hentakan yang keras-seolah ia sedang kesal oleh sesuatu.

Bocah itu kurus, berkulit sedikit kemerahan, berambut kecoklatan, dengan mata belo dan bibir yang cemberut.

Si mata belo awalnya cuma misuh-misuh, sebelum kedua mata bulat itu menoleh ke arah Raka dan menatapnya. "Heh, kamu." Dia menyapa dengan gaya paling tidak sopan. "Aku laper dan aku lagi sedih."

Raka bingung ia harus bereaksi apa.

"Mama aku pergi untuk selama-lamanya. Dia udah gak mau rawat aku lagi. Padahal aku udah janji nggak akan maling mangga punya tetangga lagi. Aku bakal rajin belajar dan ranking 1 di kelas terus. Tapi Mama malah pergi sama pacar barunya kata Ayah."

Raka sama sekali tidak menangkap apa yang diucapkan si bocah belo, ia cuma mengerti satu kata saja. "Kamu lapar?"

"Iya. Aku pingin sosis bakar di depan, tapi malas antri."

"Tunggu."

Raka akhirnya bangun. Ia ikut mengantri dan membeli empat sosis bakar dengan saus mayo saja. Lalu kembali ke kursi di mana si mata belo masih menunggu.

Raka sebenarnya penasaran kenapa bocah belo itu ada di mall di jam empat sore ini, tapi ia bingung untuk menanyakannya. Sekali lagi, bahasa Indonesianya belum terlalu lancar.

"Kok nggak pake saos? Aku pengen pake saos mushroom. Itu saos kesukaan aku. Dan kalau bisa aku sosisnya tiga, kamu satu, oke? Aku lapar, baru selesai les piano dan Ayah gak pernah bikinin aku bekal makan siang. Gak kayak Mama, Mama selalu bikinin aku bekal yang enak-enak. Mama aku orang Rusia, tapi dia jago banget masak makanan Jepang. Omurice sama Tamagoyaki buatan Mama paling enak sedunia."

Lagi-lagi Raka cuma bisa mendengar suaranya saja yang cempreng, tapi ia tidak mengerti sedikit pun yang diucapkan bocah belo itu.

Tapi satu hal yang Raka ingat, bocah belo itu bawel, tapi juga lucu. Banyak yang bocah itu ceritakan, namun tidak banyak yang Raka mengerti. Membuat Raka ingin belajar bahasa Indonesia lebih giat lagi, hanya untuk mengerti yang diucapkan bocah lucu bermata belo itu.

***

Milan selalu membuat aku terkesima, tapi Indonesia ingin membuat aku tinggal. Untuk Bali, untuk laut-lautnya, untuk makanannya, dan khususnya untuk kamu.

Kamu mungkin nggak ingat, tapi kita pertama ketemu bukan di kampus. Aku ngarang kejadian itu. Yang sebenarnya kita pertama ketemu di mall, tiga belas tahun lalu.

Dulu aku sama sekali gak paham sama apa yang kamu ucapkan. Kamu membuat aku ingin terus belajar bahasa Indonesia. Dan kamu juga membuat aku berharap setiap kali aku ke Indonesia, semoga kita bertemu lagi.

Entah itu di mall, atau di stand sosis yang sekarang udah nggak ada.

Veronica, I want you to have a long live and happy ever after. I know sometimes will be hard, but I'm sure you will through that and be more strong. Aku ingin kamu menjalani hidup kamu sebahagia-bahagianya. Pergi ke tempat-tempat indah yang belum pernah kamu tapaki, menyicipi banyak makanan, menikmati laut, atau sesederhana meminum teh hangat di sore hari sambil menikmati matahari tenggelam dari balkon apartemen kita.

***

Milan sore itu tampak indah. Tidak ada hujan, tidak ada awan mendung yang menggantung. Langit oranye seperti kanvas dari sebuah lukisan, atau dari foto yang pernah diambil Raka satu tahun yang lalu.

Veronica tersenyum memandangi langit kota Milan. Di bawah sana hiruk pikuk orang berlalu lalang. Sophie telah tertidur nyenyak di pangkuannya. Anak itu anteng, jarang menangis, dan suka sekali tertawa.

Veronica berharap anaknya kelak hidup selalu bahagia, tapi ia juga ingin sang anak menyicipi sedih agar bisa lebih menghargai hidupnya.

***

Setiap melihat hal-hal indah, aku selalu ingat kamu. Rasa nasi goreng yang enak, aku ingat kamu. Matahari tenggelam dari langit mana pun, aku ingat kamu.

Seolah aku ingin kamu ada di sisi aku, agar aku bisa menunjukkan hal-hal indah yang aku lihat ke kamu.

Tapi kalau satu hari nanti aku nggak bisa menunjukkan hal-hal indah ke kamu lagi, aku harap kamu masih bisa menikmatinya sendiri.

Tolong hidup bahagia, tapi jangan sampai lupa pada rasa sedih. Pain is good, it's reminds you of life. Sesekali gak papa untuk nangis, sesekali gak papa untuk sedih, tapi jangan berlarut-larut, cukup rasakan aja agar kamu bisa lebih menghargai hidup.

Dan jaga Sophie. Aku tau kamu bakal jadi Ibu yang hebat, kamu bakal menyayangi Sophie dan mengasihi dia karena begitulah kamu ke semua orang tanpa kamu sadari.

Aku pernah baca sebuah kutipan. "the only way to have something forever, is by losing it." aku rasa kata-kata itu seperti mengajarkan kita untuk merelakan. Karena begitulah kita sekarang. Tapi walaupun nanti mungkin nggak akan ada kita lagi, kamu bakal selalu ada di hati aku. Dan kamu gak perlu meragukan itu.

Dari orang yang selalu mencintai kamu. Mungkin surat ini satu saat nanti bakal sampai ke tangan kamu.

T A M A T .

she. | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang