4

1.4K 520 162
                                    

"Thank you, Daddy."

"For what?"

"Aku liat Daddy senyum ke Tante Asma."

"Laki-laki itu harus pegang kata-katanya," Maksudnya karena ia sudah berjanji pada Rhaja untuk tersenyum pada Asma. "Lagipula, Tante Asma bikin Rhaja seneng, jadi ya gak ada salahnya juga senyum ke Tante Asma."

"Memangnya kita harus punya alesan buat senyum ke orang lain, Dad?"

Rama membuka mulutnya tanpa suara. Melirik ke bawah, ke arah anak kecil yang berjalan di sebelahnya yang membawa mobil-mobilan pemberian tetangganya tadi. Tinggi putranya ini bahkan belum sampai separuh dirinya, tapi kata-kata yang dia ucapkan seakan melampaui tingginya langit.

"Gak juga. Tergantung orangnya mau senyum atau enggak. Kebetulan Daddy tipe orang yang gak mudah senyum. Kalau orang lain, cuma papasan di jalan pun bisa saling senyum," jelas Rama sesederhana mungkin.

"Kenapa Daddy gak mudah senyum? Kata aunt Pio, senyum itu ibadah. Nanti dapet pahala."

Rama menghela napas berat sambil membuka gerbang rumahnya dan membiarkan putranya masuk lebih dulu.

"Daddy gak mau dapet pahala?"

"Alright. Daddy akan sering senyum," pasrah Rama.

Suara tawa Rhaja terdengar. Hal itu membuat Rama keheranan.

"Kenapa ketawa?"

"If you don't want to do that, don't do it, Dad. I'm just curious.  And I'm not forcing you to smile at everyone you meet."

Rama tersenyum miring, mengusap puncak kepala putranya lalu membukakan pintu rumah untuknya.

"Son, sometime i'm afraid of you."

"Huh, why?"

"Karena kamu gak seperti anak kecil. So many mature thoughts in your little head."

Rhaja menelengkan kepalanya. Kurang mengerti apa yang dimaksud ayahnya dengan 'pikiran dewasa'. Karena yang ia lakukan selama ini hanya mengutarakan apa yang ia lihat, ia rasakan, dan ia tidak tahu, karena itu ia bertanya. Rhaja hanya menyampaikan semuanya dengan kalimat-kalimat yang sudah terdengar umum ketika mendengar keluarganya saling mengobrol. Ia mempelajari banyak hal dari melihat, mendengar, dan berinteraksi dengan orang lain. Jadi Rhaja pikir, dia melakukan hal yang normal-normal saja sebagai anak kecil.

Mungkin perlu Rama ingat kalau anaknya tidak bergaul dengan anak kecil dan lebih sering bergaul dengan orang-orang dewasa. Dengan begitu dia tidak akan heran darimana Rhaja bisa mendapat semua "pemikiran dewasa" itu.

***

Tiiinn tiiinn

Tiiinnn

Tiin

"Berisik, woy." Asma sewot sambil berjalan cepat ke arah mobil yang mengklaksoninya berkali-kali.

"Lo lama banget sih, keong."

"Lo yang dateng kecepetaaan."

"Ah, masa?"

Pria yang berdiri di samping body mobilnya itu melihat jam mahal di pergelangan kirinya.

"Apaan? Udah jam tujuh lewat begini."

Asma bersungut kesal. "Kan kita janjian jam delapaaan. Gue gampar juga lo."

"Masa siiihh?" pria itu meragukan ingatannya. Lalu setelah mengecek ponsel dan melihat chat dengan Asma semalam, baru dia menyengir.

Love And Pain (SEGERA TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang