16. Tanda tanya

84 10 2
                                    

"DASAR ANAK SIALAN! KAMU CUMA ANAK HARAM YANG GA PANTAS HIDUP! KARNA KAMU! KARNA KAMU KAKAK SAYA HARUS MATI! ANAK BODOH! MENDING KAMU MATI SEBELUM LAHIR!" Wanita itu berteriak brutal. Memberontak dengan tangis yang menetes deras di matanya.

Kanaya kembali terkejut dengan teriakan wanita itu. Kanaya yang tengah memegangi Gema tersentak saat Gema tiba-tiba menjambak rambutnya kuat-kuat. Lelaki itu tiba-tiba berteriak keras, meraung dengan tangis. Gema mencakar wajahnya sendiri.

"Gema! Jangan sayang!" Kanaya mencoba meraih jemari Gema namun lelaki itu justru menepis Kanaya.

Gema memukuli kepalanya, padahal darah masih menetes di pelipis lelaki itu. Kanaya benar-benar di landa kepanikan. Gadis itu ikut takut dengan apa yang Gema lakukan.

Tiba-tiba para orang berbadan besar yang sendari kemarin mengawasi nya dan Gema berlari mendekat. Mulai mengunci pergerakan Gema, membuat Gema tidak bisa bergerak. Lelaki itu meraung sembari berteriak untuk di lepaskan. Namun orang-orang berbadan besar itu mengangkat Gema, membawanya entah kemana.

Mengabaikan Kanaya yang di landa kebingungan. Ia hendak mengikuti langkah para pria berbadan besar itu namun tangannya di cekal. Kanaya menoleh, gadis itu sedikit tersentak saat matanya bertemu dengan mata tajam pria paruh baya yang parasnya sangat mirip dengan Gema .

Benar-benar seperti melihat Gema versi tua, semua sama. Namun Kanaya yang panik sama sekali tidak teralihkan dengan wajah pria paruh baya itu. Ia ingin berontak menyusul langkah orang-orang yang membawa Gema.

"Kamu Kanaya kan? Biarkan Gema tenang dulu, kamu ga baka bisa mengatasi anak itu di saat seperti ini. Ikut saya, Saya ingin berbicara dengan kamu!"

Pria paruh baya itu menyeret Kanaya bahkan sebelum Kanaya sempat menjawab. Kanaya ingin memberontak tapi hatinya bilang untuk mengikuti pria paruh baya ini, yang sepertinya Papa Gema.

Kanaya di bawa masuk ke ruangan bernuansa abu-abu. Ruang kerja yang lebarnya mungkin 3 kali kamar miliknya. Ada kursi besar dengan meja yang sama besarnya. Lemari-lemari berisi berkas-berkas dan buku-buku menjulang tinggi. Jendela di sisi ruangan yang tertutup rapat, menghalau cahaya matahari, lampu gantung mewah di langit-langit ruangan.

"Duduk." Perintah Papa Gema.

Kanaya menurut, ia duduk di kursi yang di tunjuk Papa Gema.

"Wanita tadi, dia saudara jalang yang melahirkan Gema," ucap Papa Gema tiba-tiba. Pria paruh baya itu duduk tepat di depan Kanaya dengan kedua kaki di silangkan.

Kanaya tersentak mendengar kata jalang keluar dari mulut pria paruh baya ini. Jalang yang melahirkan Gema berarti itu Mama Gema. Kanaya kembali di landa kebingungan. Apakah Papa Gema sebegitu membenci Mama Gema, atau bagaimana?

Pria paruh baya itu tertawa sinis pelan. "Jadi Gema masih jadi anak pengecut ya? Apa Gema tidak menceritakan apapun?" tanya pria itu kembali dengan mata menatap tajam Kanaya.

Kanaya sedikit ciut dengan tatapan itu, gadis itu hanya menggeleng pelan. Ia sedikit takut untuk membuka suaranya.

"Gema, dia-"

Pintu di ketuk pelan, membuat pria paruh baya itu mengurungkan niatnya membuka suara. Memilih menyuruh orang yang mengetuk pintu untuk masuk.

"Tuan muda sudah tenang, tapi terus berontak hendak menyusul nona Kanaya, apa kita bius saja?" tanya pria berbadan besar yang baru masuk.

Kanaya yang mendengar ucapan pria itu segera berdiri. Entah kemana rasa takutnya tadi, ia tidak bisa membiarkan Gema di bius. "Sa-"

"Diam!" Papa Gema menatap tajam Kanaya, matanya seolah menyuruh Kanaya untuk duduk kembali.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 02 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

RekahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang