9. Menjadi Percaya

111 14 2
                                    

"Aku bodoh-"

"Heh mulutnya! Ayo tukeran otak kalau gitu!" Kanaya menepuk pelan mulut Gema.

Bisa-bisanya lelaki itu bilang dirinya bodoh padahal otaknya teramat jenius. "Kanaya!" rengek Gema, memegangi bibirnya.

"Jadi kenapa bolos hm?"

"Kalau aku ga kasih tahu kamu, kamu bakal marah?"

Kanaya diam, menatap mata lelaki di depannya. "Emang aku pernah marah karna kamu ga mau kasih tahu masalah kamu?" tanya Kanaya lembut.

"Enggak"

"Gema, aku ga bakal maksa kamu. Selama ini aku selalu menghargai keputusan kamu, aku nunggu-nunggu kamu mau cerita ke aku. Sampai akhirnya aku tahu jawaban kenapa kamu ga pernah mau ceritain masalah kamu ke aku. Kamu ga pernah percaya sama aku," ucap Kanaya pelan.

Gema segera menggelengkan kepalanya keras. "Aku percaya kamu!" ucapnya cepat.

"Enggak! Kamu ga pernah percaya sama aku, kamu cuma nganggep aku tempat pelarian dari masalah kamu. Semua sikap kamu di depan aku, semua itu Cuma cara kamu menghibur diri kamu sendiri, itu semua cuma bentuk kamu yang lagi nge boongin diri kamu sendiri. Kamu tahu Gema, kalau kamu Cuma gini terus, luka kamu ga bakal bisa sembuh. Aku tahu kamu ga sebaik-baik aja kaya kelihatannya."

"Enggak Kanaya, kamu bukan pelarian aku! Aku-"

Kanaya mengapit kedua pipi Gema. "Ayo keluarin lagi," ucap Kanaya lembut.

Air mata Gema kembali turun dengan deras, lelaki itu menepis pelan tangan Kanaya. Menutup kedua wajahnya dengan tanganya sendiri. "Aku kaya pecundang banget!" gumamnya disertai kekehan miris, menertawakan dirinya sendiri.

"Nangis bukan berarti pecundang, justru orang yang ga bisa nangis itu pecundang yang sebenernya." Kanaya mengulurkan tanganya mengelus punggung bergetar Gema.

***

"Nyonya Keira hari ini mengamuk, nyonya menusuk pisau ke perutnya sendiri"

Gema tercekat, "Kondisinya sekarang bagaima Dok?"

"Kami masih berusaha, nyonya masih dalam kondisi kritis karna tusukannya terlalu dalam"

"Saya akan kesana sekarang."

"Tapi Tuan Muda, nanti an-"

"Saya harap kalian bisa menjaga mulut."

"Baik Tuan Muda."

Pukul 2 dini hari Gema melajukan motornya membelah jalanan kota, ia tidak perduli dengan apa yang akan ia dapat nanti, yang jelas ia harus memastikan kondisi sang Ibu.

1 jam perjalanan, Gema sampai di salah satu rumah sakit jiwa yang kini terlihat begitu sepi. Sendari tadi ia sudah merasakan ada yang mengikutinya, namun lelaki itu tidak peduli, Gema bergegas masuk ke dalam.

Hingga siang lelaki itu masih di rumah sakit ini, mengabaikan segala dering ponselnya. Lelaki itu hanya melamun menatapi wanita paruh baya yang tengah memejamkan matanya di dalam ruangan itu. 5 jam lelaki itu berdiri diam di posisinya.

Keributan terdengar dari luar ruangan, membuat lamunan Gema tergangu. Lelaki itu berjalan pelan melihat keributan apa yang terjadi. Seseorang dengan pakaian serba hitam yang sedari  tadi malam mengikutinya kini sudah berani masuk ke rumah sakit. 

Gema menghela nafas kasar, lelaki itu segera melangkahkan kakinya keluar area Rumah sakit. Gema bergerak cepat menuju mobilnya, ia tidak ingin orang-orang itu berbuat lebih. 

Sejujurnya ia ingin langsung menemui Kanaya sekarang namun saat ini masih jam pelajaran. Gema memilih melajukan mobilnya menuju ke rumahnya.

Lelaki itu hanya diam di kamarnya, termenung menatap langit-langit kamarnya. Apakah sebentar lagi? Atau nanti malam? Gema benci menerka-nerka.

RekahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang