Lfb 04

45 4 0
                                    

Sudah tiga hari Evan masih terbaring lemah di rumah sakit dan belum sadar. Paman bahkan sudah sampai ke Indonesia, dia sangat begitu khawatir pada Evan yang sudah di anggapnya anak sendiri.

Hari ini giliran Elsa yang menjaga Evan. Ayah sudah kembali ke kantor, Rian dan Angeline juga sudah masuk ke sekolah, ibu dan paman sedang beristirahat di rumah, mereka tidak henti-hentinya selalu berada di samping Evan sampai lupa mengurus diri mereka sendiri.

Elsa duduk di samping ranjang Evan, menatap lekat wajah Evan, selang oksigen terpasang pada lubang hidungnya, tetesan darah masuk ketubuh Evan melalui selang infus. Air mata Elsa tidak pernah berhenti mengalir, dia selalu berdoa untuk kesembuhan kakaknya, dan tanpa sadar dia sudah tertidur lelap sembari menggenggam erat tangan sang kakak.

Tidak berapa lama Elsa tertidur, dia merasa seperti ada sesuatu yang bergerak dalam genggamannya. Elsa tersontak kaget saat mendapati bahwa jari Evan lah yang bergerak, berusaha untuk membalas genggaman tangan mereka.

"Ka-kakak?" Elsa masih tidak percaya kalau Evan sudah sadar sekarang.

"Kak? Apa kau baik-baik saja?" Elsa memperhatikan jemari Evan yang sedang bergerak dengan perlahan dalam genggamannya "akan ku panggilkan dokter." dengan segera Elsa melangkah keluar dan memanggil dokter untuk memberi tau keadaan Evan sekarang.

Elsa memperhatikan Evan yang sedang diperiksa. Setelah selesai memeriksa Evan, dokter mengatakan bahwa kondisi Evan ada kemajuan dan semakin membaik. Pernyataan itu tentu membuat Elsa bisa bernapas lega.

Elsa menghampiri Evan yang sekarang sudah membuka utuh kedua matanya. Elsa menatap lekat pada Evan yang juga menatapnya.

"Kakak ..." panggil Elsa lirih.

"Apa kau sudah memaafkanku?" tanya Evan dengan suara lemahnya.

Air mata Elsa kini mengalir semakin deras, hal pertama yang terlintas dipikiran Evan adalah permohonan maaf darinya. "berat untuk memaafkannya, tapi aku akan berusaha melupakannya. Kita pasti bisa melewati ini, kita pasti bisa menjalin hubungan yang sebenarnya."

"Tidak Elsa, jangan larang aku untuk berhenti mencintaimu. Jangan larang aku untuk selalu berada dekat darimu, aku tidak akan bisa."

"Kak, kau harus bisa menerima kenyataan."

"Apa kau juga bisa menerima kenyataan bahwa aku mencintaimu? Elsa, jika aku tau jatuh cinta akan semenyakitkan ini, aku bersumpah akan mengunci hatiku dan tidak akan pernah membukanya untuk siapapun."

"Perasaanmu untukku tidaklah benar, jika aku berada di pihakmu dan mendukung perasaan itu, maka alam semesta akan kalah besarnya dengan dosa kita, Kak. Aku tidak mau Tuhan membenci diriku dan dirimu."

"Jika dosa yang kau khawatirkan, biarkan aku yang menanggung semua dosa kita, aku tidak peduli sebesar apa dan seberat apa yang akan ku tanggung dikemudian hari, yang ada di pikiran dan hatiku sekarang adalah keinginan memilikimu dan itu untuk selamanya."

"Kak---" seketika pembicaraan mereka terhenti saat mendengar suara pintu ruangan yang terbuka, mereka menoleh ke arah pintu dan telah mendapati Ozra di sana. Evan dengan sekilas memalingkan wajahnya setelah melihat siapa yang datang.

"Ozra? Kenapa tidak mengabariku jika kau ingin ke sini?" tanya Elsa.

"Tadi aku ada urusan tempatnya tidak jauh dari sini, jadi sekalian aku mampir untuk melihat keadaan Kakakmu." Ozra melangkah mendekati Elsa.

"Kak Evan sudah sadar, dan kata dokter keadaannya sudah semakin membaik."

"Ahh, benarkah?" Ozra melihat ke arah Evan yang kini sedang memasang wajah malas dengannya.

Love for BrotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang