04 | Surat Panggilan Orang Tua

16.2K 1.3K 18
                                    

⚠️ WARNING ⚠️

Cerita ini mengandung unsur kekerasan, LGBT, seksualitas, kata-kata kasar yang tidak layak untuk ditiru. Pembaca diharap bijak.

[pythagoras]

.

.

.

.

Guru laki-laki dengan perawakan tegap itu sedikit membenahkan letak kacamatanya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Guru laki-laki dengan perawakan tegap itu sedikit membenahkan letak kacamatanya. Tatapan matanya tak lepas dari dua anak laki-laki yang babak belur dihadapannya. Meski sudah terbiasa menangani anak-anak seperti ini, tapi tetap saja ia heran kenapa anak-anak seperti mereka suka sekali berkelahi.

"Beberapa hari lalu saya mendengar ada siswa yang berkelahi di toilet kelas sebelas. Itu kalian, bukan?" guru laki-laki itu menaruh kedua tangannya di meja. Sorot matanya menajam.

Alta tak menanggapi apapun dan tetap diam. Di sampingnya ada Marvin yang berdecih karena ternyata ada yang sudah melapor tentang perkelahian di toilet waktu itu.

"Pak! Dia yang mulai duluan mukul saya waktu itu. Tadi juga, dia duluan yang mukul. Kalo misal bapak ga percaya tanya sama anak-anak disana" telunjuk Marvin mengarah pada Alta.

"Tapi lo juga bales mukul!" timpal Alta dengan ketus. Kini keduanya saling melempar tatapan tajam.

"Bangsat! Apa lo?" Marvin menarik kerah jaket Alta.

"Lo yang apa?"

Kedua anak remaja ini kembali dalam suasana keruh. Padahal saat ini mereka tengah berada di ruang guru. Tak ada rasa takut sedikitpun. Mereka bahkan tak sungkan kembali berdebat dihadapan guru, saat kondisi mereka yang sudah terlibat dengan masalah sebelumnya. Memang dasar pembuat onar.

Brak!

Brakk!

"Sudah berhenti!" pekik sang guru setelah memukulkan buku tebal miliknya dengan meja. Ia sedikit memijit pangkal hidungnya.

Atensi kedua siswa dihadapannya berganti padanya.

Tangan sang guru menarik laci mejanya. Ia mengeluarkan dua lembar kertas dari laci dan menaruhnya di atas meja. Tangannya yang lain mengambil bolpoint, kemudian menuliskan sesuatu pada kertas-kertas tersebut.

"Saya tidak akan berkata panjang lebar untuk sekarang. Rasanya akan percuma kalau saya menasehati kalian tentang peraturan sekolah yang melarang siswanya berkelahi" sang guru menaruh bolpoint-nya. Ia melipat kedua kertas tersebut dan menaruhnya di dalam amplop sambil melirik dua anak didiknya.

Wajah Alta terlihat gusar menatap kertas yang dipegang gurunya. Ia takut apa yang ia pikirkan menjadi kenyataan.

"Ini..." sang guru menyodorkan amplop surat kehadapan Alta dan Marvin. "Ini surat panggilan orang tua untuk kalian. Saya harap salah satu dari mereka bisa datang dan membahas tentang masalah kalian berdua dengan saya"

[BL] 1; Another Pain | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang