54 | Tangisan Dalam Diam

7.8K 621 58
                                    

🔞 WARNING 🔞

Part ini mengandung unsur seksualitas, LGBT, kekerasan, paksaan, pemerkosaan, kata-kata vulgar, dan lain sejenisnya. Tidak disarankan untuk pembaca di bawah 18 tahun.

[pythagoras]

.

.

.

.

Malam itu Alta membuka matanya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Malam itu Alta membuka matanya. Bukan tatapan ketakutan yang tampak pada bola mata kelam tersebut. Melainkan sebuah tatapan kosong. Netranya menatap dua orang yang tertidur di kedua sisi ranjangnya dengan memegang masing-masing tangannya. Sontak Alta menarik tangannya. Beruntung Wiku dan Raga tak terbangun.

Alta mulai turun dari ranjang rumah sakit yang ia huni dengan pelan setelah mencabut paksa infus di punggung tangan kirinya. Pandangannya kini tertuju pada ponsel yang menyala di atas nakas. Alta mengambil benda miliknya tersebut. Belasan pesan masuk dan panggilan tak terjawab. Ia membaca satu per satu pesan yang masuk.

Setelah lama terdiam untuk membaca pesan, Alta kembali bergerak. Berjalan dengan sedikit tertatih menuju sofa dan mengambil jaket entah milik siapa. Ia memakainya, menutupi pakaian rumah sakit yang ia kenakan. Alta kemudian keluar dari kamar rawatnya tanpa menimbulkan bunyi sedikitpun.

Berjalan mengendap-endap keluar dari rumah sakit di tengah malam yang dingin. Alta menaiki sebuah taxi yang masih beroperasi di malam hari. Menuju tempat tujuannya.

Selama di taxi, ia habiskan hanya untuk melamun. Wajah yang masih nampak pucat itu tak memiliki rona kehidupan sama sekali. Seperti mayat hidup. Dengan mata sendu yang kosong. Dan pipi yang dulunya cukup berisi sekarang sedikit tirus.

Bermenit-menit berlalu hingga taxi berhenti. Alta telah sampai di tempat tujuannya. Ia turun setelah membayar taxi dengan uang yang ditemukan di saku jaket yang dicurinya. Berdiri di depan bangunan dua lantai yang tak asing lagi di mata Alta.

Rumah.

Apapun yang selalu terjadi padanya. Dan sejauh apapun ia pergi. Kakinya akan selalu kembali ke tempat ini. Tentu bukan karena keinginannya.

Ceklak...

Begitu Alta membuka pintu dan masuk ke dalam tempat itu, seseorang sudah berdiri menunggunya. Dengan tatapan tajam yang tak pernah berubah. Dan tubuh tinggi yang selalu berdiri tegap mengintimidasi lawan di depannya.

"Kali ini apa lagi? Apa alasan yang sama, menginap di rumah teman?" suara berat yang selalu Alta dengar.

Alta hanya diam dan menunduk. Perlahan jarak keduanya terkikis, sosok yang lebih tua mendekati yang muda. Menatap yang lebih pendek dengan kilatan marah.

[BL] 1; Another Pain | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang