“Erick...”
“Erick, rasanya aku lapar.. bisa lepaskan aku?” aku menggeliat sedikit.
Aku tidak ingin mati konyol. Kira-kira sudah hampir 4 jam seperti ini. Erick memelukku erat sekali. Bergerak saja aku tidak bisa. Telapak tangannya berada perutku yang masih terasa perih.
Aku harus mengambil hatinya. Setelah mengusap sisa-sisa air mataku, dengan sekuat tenaga aku berbalik menghadapnya.
“Erick…”
Aku menatapnya. Perasaan apa ini? Aku mulai menyentuh dadaku sendiri karena debarannya terlalu keras. Wajahku dengan wajahnya hanya berjarak 3 inchi.
Matanya terpejam. Alis tebalnya bertaut. Lingkaran hitam tampak jelas di bagian bawah matanya. Sudah berapa lama dia tidak tidur? Rambut-rambut halus tumbuh di sekitar rahang kokohnya. Tampan. Aku jadi paham kenapa iblis harus tampan. Tentu saja untuk menarik korbannya jatuh ke neraka.
Aku mendorong dadanya pelan dan tanpa sadar, Erick justru lebih menguatkan pelukannya.
“Huft.. tidak ingin kehilanganku ya?” aku melemas.
Bagaimana ini? Aku tidak bisa menyerah sekarang. Aku lapar. Aku ingin pulang. Aku tidak suka disini. Aku kesakitan. Sudah cukup. Aku harus melepaskan diri.
Jangan sampai aku melakukan tindakan bodoh lagi kalau tidak mau sisi iblis Erick keluar. Pelan-pelan aku berbalik. Tangan kananku menjulur meraih sisi ranjang dan menariknya, berusaha melepaskan diriku dari Erick.
“Mau kemana, cantik?” suara berat Erick terdengar tepat di belakang leherku hingga membuat dadaku berdesir. Lengannya makin dalam memeluk perutku. Perih. Perutku mencekung dibuatnya.
Aku mengelus tangannya yang melingkar pada perutku untuk menenangkannya. Sabar. Aku harus sabar. Aku akan berpura-pura jatuh kepadanya, dan saat dia lengah, aku baru akan kabur.
“Erick, aku lapar. Apa ada sesuatu yang bisa dimakan di rumah ini?” punggung tanganku masih mengelus lembut lengannya. Aku harus pintar bersandiwara.
Erick bangun dengan menyangga badannya pada lengan kirinya, menatapku dalam diam. Aku tidak tahu apa yang ada dipikirannya, yang jelas aku tidak berani menatapnya balik.
“Aku juga lapar, tapi yang kupikirkan hanya kau. Boleh aku memakanmu? Goddamn, Jane! Aku sangat ingin memakanmu”, Erick mendesis tepat di telingaku dan membuka mulutnya pelan-pelan hingga bibirnya mengenai telingaku.
Aku kaget. Apa yang akan dia lakukan? Bulu kudukku meremang, dada dan perutku berdesir hebat tapi tidak ada yang bisa aku lakukan selain diam. Aku memejamkan mataku erat, membayangkan kemungkinan terburuk yang bisa saja terjadi mengingat betapa gila nya laki-laki yang sedang memelukku sekarang.
Lick,,lick,,
Geli. Dia menjilatku. Erick menjilati telingaku seperti anak kucing sedang minum susu. Seluruh tubuhku merinding. Perasaan apa ini? aku… aku tidak pernah merasakan sesuatu semenyenangkan ini.
Lidahnya pelan-pelan masuk ke lubang telingaku dan membuat tubuhku lebih merinding dari sebelumnya. Eros, memasuki pikiranku seakan mengatakan bahwa pasti lebih menyenangkan kalau lidah Erick berada di ‘lubang’ tubuhku yang lain.
“Ah..”
Sialan. Aku kelepasan. Eros sialan yang memasuki pikiranku. Erick menghentikan kegiatannya secara tiba-tiba dan mengangkat kepalanya, menatap wajahku yang memerah.
Aku tahu mungkin Erick sedang meyakinkan dirinya kalau aku barusan betulan mendesah karena menikmati permainannya. Erick menggeser telapak tangannya ke tengah perutku dan meremasnya kuat-kuat karena gemas.
“Ah, sakittt”, aku meringis dan mencoba menggeser telapak tangannya dari perutku yang masih terasa perih.
“Kau tidak suka?” Erick menatapku bingung.
“Erick, perutku masih terasa sakit karena apa yang kau perbuat tadi..”
“Aku bukan bertanya sakit atau tidak, Jennifer. Apa aku harus mengulangi pertanyaanku lagi?” Erick memotongku dengan cepat. Aku diam, tidak tahu apa jawaban yang dia inginkan.
“KAU SUKA ATAU TIDAK, SAYANG?” Erick meninggikan nadanya di depan wajahku.
“A-aku.. menyukainya, tapi..”
“Baguslah. Memang seharusnya begitu. Kau harus bersyukur dengan apa yang kukasih pada perutmu ini. Aku membuatnya dengan susah payah, dengan cinta. Kau harus menyukainya. Ya, sayang?” Erick dengan cepat memindah posisi tubuhnya menjadi menjulangiku, lalu mengunci kedua tanganku di atas kepalaku dengan satu tangannya.
Tangan lain Erick membuka bajuku ke atas dengan kasar, hingga luka bakar di perutku terlihat. Dia tersenyum kegirangan melihatnya. Wajahnya mendekat ke perutku dan mengirup aroma yang tercium dari sana.
“Cantik sekali. Terlebih ini karyaku. Enak. Aku jadi makin lapar. Aku mau makan”, Erick berkata sambil sesekali menghisap air liurnya yang hampir menetes.
Aku menatap wajahnya getir memohon agar dia tidak melakukan sesuatu yang gila terhadapku. Aku menahan nafas saat jari telunjuknya menyusuri setiap huruf yang tercetak di perutku.
Setelah selesai, ia mengganti jarinya dengan lidahnya dan menjilati luka bakarku. Perih, aku ingin menangis. Lama-lama jilatannya jadi makin kasar. Seakan tidak peduli dengan teriakanku, dia tetap menjilati dan mengulum “karyanya” seperti orang kelaparan.
Aku tahu dia tidak akan melepaskanku sebelum dia “kenyang”. Aku berteriak dan meronta berharap ia melepaskan aku, tetapi ia tetap tidak peduli.
“Aku belum kenyang, tapi aku takut jika benar benar kumakan, aku akan merusak karyaku sendiri”, Erick mengelap salivanya di ujung bibir dengan punggung tangan.
“Erick, kau menyakitiku, tolong..”
Erick melepaskan tanganku dan menarikku kasar hingga aku terduduk. Rasa sakitnya memburuk saat aku di posisi seperti ini.
“Sekarang kau yang harus makan, Jane"
•••
GAESSS DOAIN, KALO GA HUJAN BESOK AKU UPDATE
MWAH

KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, Jennifer
RomanceWarning 18+ "Dear Jen, aku gila. aku gila karenamu. aku tidak tahan jika aku hanya harus duduk diam sambil menandangimu tidur lewat layar monitor ini. aku harus menyentuhmu, Jen! aku harus merasakan senyummu! ku harap, kau membalas suratku secepat m...