two

17.1K 774 11
                                    

08.00 AM. Masih dingin, pikirku. Bahkan langit pun masih gelap. Salju sudah turun sejak tiga hari yang lalu.

Pohon apel di depan jendela kamarku tampak gundul dan sedikit tertutup salju. Bahkan itu tak tampak seperti pohon apel lagi.

Ku buka jendela kamarku dan kusentuh dahannya yang terjulur ke dekat jendela hanya untuk membuat agar saljunya jatuh.

Oh, sebentar. Aku menyadari sesuatu disana. Aku tidak salah lihat kan? Itu. Itu.. Surat. Hah? Apakah itu surat? Atau hanya pesawat kertas yang tersangkut?

Aku mencondongkan tubuhku dengan satu tangan di jendela sebagai tumpuan, dan satu tangan lagi berusaha meraih kertas apa yang ada di dahan tadi. Saat aku menyadari bahwa itu adalah amplop lusuh, aku membeku.

Itu surat dari si gila. Aku tahu. Aku meraba tengkukku yang meremang. Jujur, aku merasa sedikit lega karena surat terakhir yang dikirimkannya adalah surat 3 hari yang lalu. Jadi, selama 3 hari ini aku merasa sudah terbebas dari stalker gila itu. Tapi setelah mendapati amplop ini, aku jadi merasa terancam. Lagi.

Aku membuka amplop itu perlahan agar tidak sobek. Lumayan basah karena tertutup salju dan agak lengket ketika dibuka. Ku nyalakan hair dryer ku, lalu mulai mengeringkan kertas lusuh itu. Sedikit demi sedikit tulisannya mulai terlihat.

"Dear Jennifer,
Aku tidak tahu apa yang terjadi padaku waktu itu. Saat aku melihatmu untuk pertama kalinya. Aku merasa ada sesuatu. Sebuah koneksi diantara kita. Sesuatu yang elektrik. Tolonglah, aku tidak bisa berhenti memikirkannya. Aku tidak tahu apa itu. Yang kutahu hanya menunggumu pulang kuliah dan mengikutimu. Kuharap kau tidak keberatan, karna itu satu-satunya cara agar aku tahu dimana rumahmu."

Aku terkesiap. Aku merasa dunia sempat berhenti berputar saat ini juga. Perasaan tenang dan damaiku saat kupikir aku tidak lagi diikuti oleh stalker itu, akhirnya hilang. Dia masih mengikutiku. Memantauku.

Bagaimana bisa seseorang mengamatiku bahkan aku tidak tahu keberadaannya? Tubuhku ambruk saat itu juga karena kakiku tidak kuat menumpu berat tubuhku.

Aku sangat shock. Otakku mulai memikirkan hal-hal buruk yang belum terjadi. Atau mungkin akan terjadi setelah ini.

Tapi, aku menyadari sesuatu. Di surat itu dia menulis bahwa dia baru saja menemukan rumahku? Dan juga belum ada kata-kata frontal tentang tubuhku. Oke, aku mengerti sekarang.

Surat pertama bukanlah surat yang pertama kali kutemukan terselip di pagar rumahku. Justru surat di pagar mungkin surat kedua. Atau ketiga. Yang pasti, surat pertama yang dikirimkan si gila itu adalah surat ini. Surat di dahan pohon yang terjulur ke jendela kamarku.

Pandanganku kabur. Aku tidak bisa membendung air mataku yang mulai berjatuhan di sudut mata. Kali ini aku benar-benar ketakutan.

Yang terpikirkan oleh ku saat ini adalah, apa yang dilakukan si gila di atas sana? Padahal, jika seseorang berhasil naik ke pohon apel, pasti dia bisa melihat dalam kamarku yang ada di lantai dua. Apalagi jika bisa merambat melalui dahan, pasti dia bisa masuk ke dalam kamarku lewat jendela.

Apa yang harus kulakukan? Apa yang harus kukatakan pada polisi saat aku meneleponnya? Aku hanya harus tahu siapa orang yang selalu menerorku dengan surat-surat itu.

•••••

Stalker's POV

Jane ku, sayang. Sudah dua minggu sejak aku menulis surat kepadamu dan aku bahkan belum mendapat balasan. Aku selalu menunggu diluar gerbang kampus mu hanya sekedar untuk melihatmu pulang kuliah. Tapi kau tidak menyadariku. Kau tidak melihatku ada disana. Kau sempurna, Jane. Aku terlalu malu untuk mendekatimu jadi aku hanya memandangmu dari jauh.

Pernah waktu itu kau sedang berjalan bersama sahabatmu. Dan aku disana, sayang. Aku memandangmu di dekat gerbang. Oh, kau melihatku! Jantungku terasa berhenti saat itu juga. Kau melihatku dengan mata indahmu, Jane. Saat itu mata kita bertemu, walaupun hanya sedetik-dua detik. Pada waktu yang singkat itu, aku merasa sangat dekat kepadamu. Seperti kita sudah kenal bertahun-tahun.

Jane ku, sayang. Kau memenuhi pikiranku. Aku bisa menunggumu berjam-jam di depan gerbang menunggu mu sampai kuliahmu selesai. Namun aku sadar, itu tidak cukup. Aku harus selalu mengikutimu kemanapun kau pergi, sayang.

Aku selalu mengikutimu pulang. Kau tidak menyadari aku, Jane. Aku hanya berpura-pura melewati rumahmu, hingga melihatmu membuka gerbang, dan aku merasa kita sudah terpisah lagi. Tidak, tidak boleh. Kita tidak boleh terpisah seperti ini. Kau harus selalu bersamaku. Selamanya.

•••••

Don't forget to vote, i hope you like it. Happy reading :)

Dear, JenniferTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang