Jam 03.00 AM dan aku belum tidur. Jenniferku lebih penting dari pada tidur, jadi aku lebih memilih menatapnya dari layar monitor. Mengawasinya.
Aku harus menjaganya setiap malam seperti ini, aku tidak mau milikku disentuh lagi. Jane ku terlalu berharga. Aku terus menatap.
Jam 04.00 AM masih belum ada pergerakan. Jane ku masih damai dalam tidurnya. Apa se lelah itu Jane? tidak apa, tidurlah. Aku mengawasimu.
Aku tidak akan menoleh sedetikpun. Jane ku terlalu indah untuk dilihat, dan aku tidak ingin melewatkan sedikitpun pergerakan darinya.
Aku mengabaikan rasa haus yang menyiksaku sedari tadi. Lebih baik tenggorokan ku terbakar dari pada aku meninggalkan layar monitor ini. Aku tidak akan lengah lagi.
Jam 05.00 AM dan akhirnya! Jane ku menggeliat disana dan merenggangkan tangan-tangannya. Aku menahan rasa senang ini di dadaku.
Matanya mengerjap berkali kali dan saat dia sudah sadar, Jenniferku langsung tersentak. Dia duduk dalam kebingungan dan berkali-kali menatap pakaiannya.
Aku maklum. Jangan takut sayang, aku disini. Aku melindungimu. Jane ku bangun dan dia menyadari suratku. Dia membaca sambil menangis keras di lantai. Oh, my beautiful Jennifer.
Aku tidak tahan melihatnya. Melihatnya seperti itu membuat mataku panas. Jennifer, tunggu aku! Aku akan kesana. Aku harus menemuimu dan kau harus melihatku agar bisa mencintaiku juga.
Aku sadar aku tidak bisa terus begini. Aku ingin Jennifer ku mengetahuiku. Aku ingin membuat ikatan yang nyata sekarang.
Lagi-lagi, perasaan campuran antara girang dan ketakutakan itu melandaku. Aku tidak bisa menahan debaran dalam jantungku. Aku tidak bisa menahan senyuman di wajahku.
Baiklah, baiklah. Aku harus mengontrol emosi ku terlebih dahulu sebelum aku menemui cintaku dan menjelaskan segala sesuatu yang menjadi pertanyaannya selama ini. Aku menekan dadaku sampai sesak karena harus menahan debaran keras didalamnya.
•••••
Blank. Pikiranku blank saat ini. Aku masih belum bisa berfikir apapun. Aku menjambak rambutku frustasi. Kertas yang ada di genggamanku sudah tak jelas bentuknya.
Sesekali aku membacanya lagi dan air mata lolos dari mataku. Pikiranku langsung mengingat hal yang terjadi semalam. Tentu saja kejadian seperti itu tidak bisa langsung hilang dari otakku.
Persetan dengan kuliah hari ini. Persetan dengan Lewis brengsek. Aku hanya akan berdiam diri dirumah hingga aku tenang.
Aku meraba pipiku yang memar dan membayangkan pria yang menamparku. Aku bersumpah tidak akan menemui Lewis lagi. Aku akan menceritakan semuanya ke Debora saat aku sudah tenang.
Mataku menatap kertas yang penuh air mataku itu, sekali lagi. Tiba-tiba sesuatu terlintas dalam otakku. Itu membuat dadaku sakit.
Bagaimana jika dia tidak menyelamatkanku, si stalker gila itu. Hahah, dia bukan stalker gila. Aku harus mengganti julukannya, mungkin?
He's my guardian angel, actually. Aku merasa bersalah sudah berprasangka buruk terhadapnya. Aku tau dia bukan stalker gila atau psikopat seperti di film-film thriller yang biasa ku tonton.
Dia bisa saja membunuhku dengan mudah jika dia memang psikopat. Dia bisa saja memperkosaku setiap malam secara dia sudah tahu dimana aku dan pernah memasuki kamarku. Tapi dia tidak melakukannya.
Aku tahu dia bukan orang jahat. Dia mengikutiku untuk melindungiku, walaupun aku tidak sadar. Menakutkan memang, kau diikuti oleh orang yang tidak kau kenal. Tapi kejadian semalam berhasil membukakan hatiku.
Aku harus berterimakasih padanya. Aku masih syok saat ini dan aku tidak bisa berfikir bagaimana cara berterimakasih pada orang yang bahkan belum pernah kulihat wajahnya.
Aku tidak menyangka bahwa berterimakasih kepada sesorang akan menjadi serumit ini. Aku melihat pakaian ku dan aku merasa hina.
Aku berjalan ke kamar mandi dan menanggalkan seluruh pakaian ku cepat. Aku membuang t-shirtku yang telah koyak ke tempat sampah.
Berendam dalam bath up bukan ide yang bagus saat ini, jadi aku berjalan ke bawah shower. Jam 07.00 AM dan masih terlalu pagi bahkan dingin untuk mandi. Tapi aku mengatur suhu airnya serendah mungkin.
Aku menyalakan shower dan air yang memancar darinya langsung mengenai ujung kepalaku. Aku memejamkan mata menikmati setiap air yang masuk ke rambut dan mengalir perlahan melewati kulit kepalaku.
Terlalu dingin, tapi aku terlalu lelah untuk peduli. Aku mengadahkan kepalaku sehingga air bisa langsung mengenai wajahku yang memar.
Aku mengambil shampo dan memijat kepalaku perlahan sambil menyisir rambutku yang berantakan dengan jariku. Membiarkan air yang dingin menyiram dan mendinginkan kepalaku, berharap aku lupa segalanya.
Aku menatap diriku ke cermin, dan melihat wajahku yang mengerikan. Pipiku membiru dan aku mengoleskan obat merah itu ke ujung bibirku yang berdarah.
Aku cepat mengeringkan rambutku dan melilitkan handuk ke tubuhku. Saat keluar kamar mandi, aku melihat sesuatu yang benar-benar bisa membuatku pingsan.
Ada pria disana. Ada pria di kamarku. Dia membelakangiku sambil menatap keluar jendela kamar. Aku membeku. Disaat seperti ini aku membeku.
Dia mungkin mendengar langkah ku, dan dia membenarkan topinya. Aku mempersiapkan mentalku untuk segala kemungkinan terburuk sambil terus menatap bahu lebar itu, kalau-kalau ia berbalik.
Dia bukan perampok, apalagi penculik. Dia... pria itu. Aku tidak tahu apa yang meyakinkan diriku bahwa dia pria itu, tapi aku bisa merasakannya.
Sebelum aku sempat berkedip, dia sudah berbalik di hadapanku. Kejadiannya begitu cepat dan aku hanya menatapnya disana. Lututku melemas. Tentu saja.
Disana, dibalik topi hitam itu. Aku melihat mata paling dingin dan gelap yang pernah kulihat. Ekpresinya yang tak terbaca, kumpulan tak terduga dari sesuatu yang tak bisa kujelaskan.
Aku mengeratkan tanganku pada ujung handuk yang menjadi satu-satunya benda yang menutupi tubuhku saat ini. Dia tampak mengamati seluruh pergerakanku.
Dia juga hanya menatapku disana sebelum akhirnya dia maju mendekatiku. Itu membuatku mengambil reflek mundur, dan itu membuatnya menghentikan langkahnya sambil menatapku nanar.
Aku merasa bersalah tapi aku juga tidak tahu aku harus bersikap seperti apa. Di situasi lain, aku menganggapnya menarik. Rahang yang kuat, sorot matanya tajam, bahkan rambutnya indah saat ia melepas topinya."Mengapa kau melakukan ini?" aku merasa aneh dengan nada bicaraku yang sekuat mungkin kubuat normal. Bodohnya aku.
Dia hanya menatapku bingung dan mengambil langkah maju lagi. Aku tidak bisa untuk tidak mundur, jadi aku melakukannya. Sial, aku menabrak tembok saat aku mengambil langkah mundur terlalu banyak.
Tapi dia tetap mendekatiku, semakin dekat hingga aku bisa mencium aroma citrus dari tubunya. Aku memejamkan mataku kuat, dan dia membelai lembut pipiku. Secara tidak sadar aku bersandar pada sentuhannya.
Aku membuka mataku, dan langsung bertemu dengan matanya yang misterius namun menenangkan dalam waktu bersamaan ketika aku menatapnya dalam. Dia membuka mulutnya seakan ingin berkata sesuatu.
"Because i love you too much, my Jennifer"
•••••
Btw, buat cast i'm so sorry karena belum bisa menemukan yang pas sama imajinasiku :(
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, Jennifer
RomanceWarning 18+ "Dear Jen, aku gila. aku gila karenamu. aku tidak tahan jika aku hanya harus duduk diam sambil menandangimu tidur lewat layar monitor ini. aku harus menyentuhmu, Jen! aku harus merasakan senyummu! ku harap, kau membalas suratku secepat m...