sixteen

4.1K 252 148
                                    

Manisnyaaaa, Jennifer! Tidak, aku harus mengontrol emosiku sebelum aku benar benar merobek kulitnya dengan gigiku. Aku terus menjilat karyaku yang terasa sangat manis itu, sesekali ku gigit kecil dan cantikku akan berteriak.

“Aku belum kenyang, tapi aku takut jika benar benar kumakan, aku akan merusak karyaku sendiri”, aku mengelap sisa salivaku.

HAHAH, INI GILA! Aku benar benar ingin memotong tubuhnya kecil-kecil dan menjadikannya sup. Jane, kau terlalu manis. Aku benar-benar tidak akan melepaskanmu.

Apakah aku sudah terlalu mencintainya hingga sempat berfikir ingin memasukkan setiap inchi tubuhnya kedalam tubuhku. Candu. Tuhan, tolong tetap jaga kewarasanku agar aku tidak menyesal.

“Erick, kau menyakitiku, tolong..”, cicitnya pelan.

Aku menatap wajahnya yang berantakan setelah “kumakan”. Matanya memerah karena menangis, giginya bergeretukan menahan sakit. Ah, sialan. Aku benar-benar ingin menelannya. Kenapa bisa ada makhluk se manis ini.

Aku menariknya bermaksud mendudukkannya, dia memekik kecil. Sakit, sayang? Tidak apa, kau sedang beradaptasi untuk menyukainya. Jennifer menahan sekuat tenaga ekspresi ketakutannya, wajahnya tidak menatapku tapi aku tahu air matanya bercucuran. Ah, hampir lupa, dia juga lapar.

“Sekarang kau yang harus makan, Jane”

Ia menatapku dengan ketakutan, tapi kebingungan. Mungkin penasaran apa yang akan kukasih ke dia untuk dimakan. Ayolah sayang, kenapa kau memberiku dengan tatapan ketakutan? Aku ingin kau menatapku dengan excited karena aku sudah menyiapkan makanan favoritmu.

Aku melepaskan bajunya dan mengikatkannya pada kepalanya, menutupi matanya. Tangan kecilnya sigap menutupi dadanya tetapi ia tidak melawan. Aku senang, iblis yang menguasai diri Jane tadi sudah pergi. Aku ingin memberikan kejutan, jadi dia tidak boleh melihat dulu.

“Sayang..” aku mengencangkan ikatan bajunya pada kepalanya. Kepala mungil yang mungkin bisa kuhancurkan dengan sekali hantaman ke diding.

“Kepalaku pusing, Erick..” tangan yang dua kali lipat lebih kecil dari tanganku itu meraba ikatan dibelakang kepalanya.

“Sayang, memang harus kukencangkan agar kau tidak mengintip!” aku menyeringai gemas membayangkan betapa senangnya dia saat kelaparan dan aku yang memberinya makan.

Aku memapahnya berdiri, dan Jane tampak sempoyongan. Aduh, sayangku. Kau benar-benar lemah kali ini. Aku bahagia karena saat dia lemah, aku juga yang membantunya berdiri. Aku mengusap bahu telanjangnya sesekali, dan dia menegang.

Aku menatapnya dalam-dalam. Ciptaan tuhan paling indah yang hanya untukku. Ah, gila. Aku ingin sekali menghantamkan kepalaku ke dinding berharap ini bukan mimpi. Lihat, dia berdiri di situ, telanjang dan gemetaran. Bahkan kepalanya tampak lucu.

"Erick, mau kemana kita?" tanya nya saat kugiring dia menuju "ruang makan" kami.

"Sshhh, kau akan menyukainya"

Aku mendudukkannya di kursi tanpa melepas kaos yang kuikatkan di kepalanya. Perlahan aku mengikat tangannya ke belakang tanpa memberi tahu alasannya. Jane ku mendesah pelan saat kukencangkan ikatannya.

"Erick, bagaimana aku bisa makan kalau kau mengikatku seperti ini?" Tuhan, aku berhasil meluluhkannya. Sayangku tidak berontak atau teriak lagi.

Erick, Erick, sialan, caranya menyebut namaku yang seperti itu membuatku mengawang. Aku tidak menjawab. Kuusap bibir mungil dan pipinya bersamaan. Bisa kurasakan dia bersandar pada sentuhan ku.

"Cantik, aku akan mengambilkan makananmu. Jangan biarkan iblis merasuki mu lagi ya, sayang"

Aku berjalan keluar mengambil makanan kesukaan Jane. Aku kembali dan melihat ia tetap duduk diam disana. Lihatlah gadisku. Gadisku yang sangat penurut. Ia bahkan tidak bergerak dan sabar menungguku kembali.

Aku menarik kursi tepat di depan gadisku dan duduk disana sambil membawa makanan kesukaannya. Kau pasti sudah bisa mencium aromanya kan, sayang?

Aku menatap cairan kental berwarna putih kecoklatan itu di piring yang kubawa. Aku mengaduknya pelan dan sesekali melihat kearah Jennifer. Manisnya. Dia tampak sabar menunggu aku menyuapinya.

Aku mengambilnya sesendok dan meneteskannya ke ceruk leher Jane. "Ah, panas!" Jane ku memekik dan tubuhnya seketika menegang. Hahaha, lucu sekali. Santai saja sayang, kalau begitu kau bisa terjatuh dari kursimu. Aku hanya bercanda, aku ingin mengetes apakah makanan ini terlalu panas atau tidak untukmu.

•••

Aku tampak menjijikan. Aku ditelanjangi dan diikat, seperti binatang. Orang gila. Aku memang dibuat seperti hewan peliharaan nya. Dia menggiringku menuju.. entah, dia menyebutnya "ruang makan" kami.

Sepanjang koridor rumahnya, aku hanya bisa meraba sedikit benda-benda yang kulewati hanya ingin tahu bagaimana bentuk tempat ini. Aku merasa pusing karena Erick mengikat kepalaku kencang sekali.

Aku bisa merasakan bahwa aku memasuki ruangan yang lantai nya lebih dingin dari ruangan sebelumnya. Tiba-tiba Erick berhenti di depanku. Dia meniup leherku sekilas lalu mendudukkan aku di sebuah kursi besi. Dia mendorongku hingga aku bersandar pada sandaran kursi. Dingin, itu yang kupikirkan saat punggung ku menyentuhnya.

Erick mengikat tanganku kencang. Aku diam, aku menahan untuk menuruti apa maunya. Menahan untuk tidak terlalu memperlihatkan bahwa aku penasaran, bahwa aku ketakutan dan kawatir.

"Erick, bagaimana aku bisa makan kalau kau mengikatku seperti ini?" aku sekuat tenaga menjaga nada bicaraku agar tidak terdengar gugup.

Aku bisa merasakan suhu tubuhnya yang panas berada di dekatku. Erick mengusap pipiku sekali dan berjalan keluar. Aku sangat ingin menjatuhkan diri dan kabur, tapi aku sadar aku lemah.

Aku tetap berusaha diam hingga suara langkah Erick terdengar. Aku bisa mendengar dia menyeret kursi dan duduk tepat di depanku. 5 detik, 10 detik, hanya ada suara pelan denting sendok.

Kita berdua diam sampai akhirnya aku merasakan satu tetesan panas di ceruk leherku. "Ah, panas!", sungguh itu reflek. Erick meneteskan kuahnya ke leherku. Dia pasti kegirangan sekarang. Aku berusaha tidak ingin memenuhi ekspektasi nya, tapi dia kelewatan gila.

"Panas ya? ah kasian. Biar ku tiup kalau begitu", ucapnya santai.

Ya kau pikir saja, orang gila. Aku mengatur nafasku dan berusaha untuk kembali tenang. Aku merasakan Erick menyodorkan sendok ke mulutku. Aku ragu-ragu karena tidak tahu apa yang ia beri padaku sekarang.

"Buka mulut mu, sudah tidak panas kok!" Erick kesenangan saat mengatakannya.

Aku membuka mulutku pelan dan berharap ini makanan sungguhan yang Erick berikan padaku. Enak. Sup Krim jagung, kesukaanku. Bagaimana dia tahu?

Aku menahan reaksiku dengan tetap mencoba membuat wajahku datar. Satu sendok, dua sendok, Erick menyuapiku dengan perlahan. Setelah sendok ke-lima, Erick berhenti. Entah apalagi yang sedang dipikirkannya.

"Membosankan. Aku ingin mencoba sesuatu yang baru", Erick melepas kaos yang diikatkan di kepalaku dengan kasar.

Aku mengerjapkan mata berulang kali sekedar untuk menghilangkan kunang-kunang yang menghalangi pandanganku. Ah, pening. Aku masih berusaha untuk menormalkan penglihatan ku sampai akhirnya Erick menumpahkan sup itu di tangannya.

"Kau benar-benar menyukai ini kan, sayang? Cobalah, aku akan menjadi 'piring'mu"

•••

Doa kalian terkabul kok. Malem ini ga hujan

Dear, JenniferTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang