Aku terbangun dengan keadaan sudah berdarah. Dikurung, diborgol, telanjang, dan berdarah. Aku merasa seperti binatang. Ini sangat menjijikan.
Aku mulai membayangkan betapa nyamannya berada di rumah sekarang. Pembalut dan tampon selalu tersedia di nakas saat aku datang bulan. Aku ingin berada di kasur yang empuk, tidur memeluk bantal pemanasku agar nyeri perutku berkurang. Aku juga ingin membuat coklat panas di cuaca seperti ini sambil menonton film di laptopku.
Sudah berapa jam aku tertidur? Benda kecil di sudut ruangan masih senantiasa berkedip, menandakan iblis itu sedang mengawasiku. Dingin dan haus sudah tidak kurasakan lagi, yang kutahu hanya aku merasa lemah dan tidak bisa membuka mataku seratus persen.
“Jane, kau datang bulan? Sudah bawa obat?” Suara Debora terngiang di telingaku. Perutku sangat nyeri, terlebih dalam keadaan seperti ini. Aku tidak bisa bergerak.
Aku menghabiskan waktuku untuk berpikir dan menahan rasa sakit. Aku ingin minum obat dan memeluk bantal pemanas. Pipiku terasa hangat karena air mataku meleleh lagi. Aku menjilati bibirku yang kering hingga terasa perih karena sebagian kulitnya mengelupas. Aku dehidrasi.
“Aku tahu kau bisa mendengarku sekarang. Aku minta maaf atas apa yang kulakukan kepadamu. Apa kau punya pereda nyeri? Kumohon. Aku kesakitan. Aku…” Sia-sia. Aku hanya bisa mendengar suaraku sendiri, selirih apapun itu.
“Hey, Erick. Apa kau memang berniat membuatku mati? Kumohon, aku benar-benar merasa haus dan kesakitan, tolong, hiks..”
Aku meluruskan kakiku yang sudah penuh darah. Aku berharap pria itu tidak akan merasa jijik denganku karena hal ini. Persetan dengan rencana kabur. Persetan dengan fakta bahwa Erick adalah pria jahat. Aku justru membutuhkannya saat ini.
Sekitar 15 menit berlalu semenjak aku memohon pada Erick, mengira dia bisa mendengarku. Tampaknya tidak. Mungkin dia hanya mengawasi tetapi tidak bisa mendengarku. Atau dia malah tidak peduli?
Aku menekuk kakiku lagi sambil merebahkan kepalaku dengan satu tangan yang tergantung. Mungkin wajar dia menghukumku. Mungkin dia melakukan ini untuk memberiku pelajaran. Mungkin dia akan membawaku ke kamarnya jika aku menjadi gadis yang penurut untuknya.
Mataku terasa berat hingga ingin terpejam. Kepalaku mulai pusing dan pandanganku kabur. Belum sempat aku memejamkan mata lagi, cahaya dari luar sedikit-demi sedikit masuk melalui pintu yang terbuka, sampai akhirnya cahayanya hilang karena pintunya ditutup lagi.
Ah, itu dia. Iblis tampan yang menculikku. Aku mendongakkan kepalaku sedikit dan tanpa sadar tersenyum, walau pandanganku masih buram. Samar-samar aku melihat pria itu membawa ember dan sebuah kotak.
Erick berjalan ke bawah benda berkedip, lalu menekan sesuatu. Ruangan yang sebelumnya sangat gelap, menjadi terang benderang dan nyaris membuat bola mataku terbakar.
“Ughh,” aku menundukkan kepalaku lagi, beradaptasi dengan cahaya di ruangan ini.
Erick mendekat dan berjongkok di hadapanku. Aku mendongak agar bisa melihat wajahnya. Dia tampak tampan dan sangat rapi. Rambutnya disisir rapi kebelakang, kaus yang dikenakannya juga rapi dan bersih. Aku mengernyit. Mau kemana dia? Kenapa berdandan rapi?
“Uh,, hai,” aku memaksakan diriku untuk tersenyum kepadanya. Ekspresinya datar, pandangannya menyusuri tubuh telanjangku. Aku semakin merapatkan kakiku yang tampak menjijikkan.
Dia menatap mataku dan membuang nafasnya berat. Tangannya meraba saku dan mengeluarkan sebuah kunci. Pasti dia ingin membuka borgolku. Aku nyaris tersenyum memikirkannya.
Cklak.
Tanganku langsung terkulai lemas saat borgolnya dilepas. Aku memeluk kakiku saat Erick berusaha menyentuhnya. Melihat reaksiku yang seperti itu, Erick menarik tangannya kembali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, Jennifer
RomanceWarning 18+ "Dear Jen, aku gila. aku gila karenamu. aku tidak tahan jika aku hanya harus duduk diam sambil menandangimu tidur lewat layar monitor ini. aku harus menyentuhmu, Jen! aku harus merasakan senyummu! ku harap, kau membalas suratku secepat m...