Jane memposisikan dirinya berada di sebelah pintu, bersembunyi. Gadis mungil itu berdiri diam disana, menunggu detik-detik pintu di sampingnya terbuka. Jane mengatur nafasnya dan menguatkan genggamannya pada paku berkarat itu agar tangannya tidak terlalu bergetar.
Pikiran gadis itu adalah langsung menusuk wajah tampan Erick begitu pintu terbuka. Saat iblis itu lengah karena kesakitan, Jane akan langsung menusuk leher pria itu dan berlari melarikan diri. Itu rencananya.
Kenop pintu bergerak seiring dengan bunyi berderit karena pintu dibuka. Jennifer tidak menyia-nyiakan waktu dan tenaganya. Dengan gerakan cepat, gadis cantik itu langsung menyerang wajah tampan sang iblis dengan mencoba menusuknya dengan paku.
Tubuh gadis itu tersentak. Sang iblis lebih gesit. Tangan pria itu mencengkram pergelangan tangan sang gadis, tahu bahwa dia bisa meremukkannya dengan mudah.
Dengan itu, Jennifer tahu bahwa ia telah berakhir. Rencananya gagal, bahkan sebelum ia memulainya. Satu hal terlintas di kepala Jane, dia tidak bisa mengalahkan pria itu. Tentu saja. Seorang gadis bertubuh mungil melawan iblis berwajah tampan.
"A apa ini?" bisik Erick, terlihat tidak menyadari yang ia ucapkan. Tangannya gemetar mengangkat tangan Jane yang masih memegang paku.
Mata Jane dan Erick beradu. Perasaan aneh menyerang Jane saat ia menyadari tatapan pria itu kepadanya. Bukan hanya marah tetapi ada kekecewaan disana.
"APA INI, JANE?!" Bentak pria itu hingga suaranya menggema memenuhi seluruh ruangan.
Jennifer tidak menjawab. Gadis itu memperhatikan Erick, lalu mundur sedikit demi sedikit. Mata pria itu menusuk Jane tajam. Rahangnya mengeras, menahan amarah.
"Aku minta maaf. Kumohon, aku sungguh minta maaf. Tolong jangan sakiti aku, aku minta maaf,"Jennifer terisak sambil bergerak mundur hingga tumitnya menyentuh dinding.
Pria itu menekan bahu Jennifer keras ke tembok hingga kepala gadis itu terbentur. Jennifer tidak berusaha melawan. Apapun yang Erick lakukan, akan menjadi lebih buruk jika gadis itu tetap mencoba melawan.
Air mata tidak berhenti meleleh dari mata biru Jennifer, saat ia melihat Erick mengeluarkan sebuah kain dari saku nya. Penutup mata. Gadis itu langsung mengetahuinya.
"Jangan coba-coba..." bisik Erick tepat di telinga Jennifer saat pria itu mengikat kencang-kencang kain penutup mata di belakang kepalanya.
•••
Erick berkali-kali memukul dinding tepat di sebelah kepalaku dengan keras. Aku bergetar. Aku masih menangis hingga bisa merasakan penutup mataku basah. Entah apa jadinya jika pukulannya mengenai wajahku. Aku tahu ia sangat membatasi dan menahan dirinya untuk tidak menyakitiku.
Suara berderit terdengar menandakan pria itu membuka pintu. Dengan kasar, Erick memegang tanganku dan menarikku keluar hingga aku terseret. Aku menangis seiring dengan berjalannya kami di koridor.
Kami berjalan tidak terlalu jauh, tetapi aku bisa merasakan kami memasuki ruangan yang sedikit lebih dingin daripada ruang makan kami. Erick mendorongku masuk hingga membuatku tersungkur.
BLAM.
Aku tersentak saat pria itu membanting pintu ruangan ini dengan keras. Aku merasakan Erick mendekatiku, sebelum tangannya memegang kain yang menutupi mataku dan menariknya kasar. Aku mengerjap perlahan.
Ruangan polos abu-abu, hampir tampak seperti sel tahanan. Tidak ada jendela, tidak ada ventilasi. Sangat gelap. Ada sesuatu berkedip di pojok atas, dan aku langsung mengetahui bahwa itu adalah kamera.
Aku menatap kembali iblis di depanku. Sorot mata pria itu makin tampak seperti monster jika dilihat dalam gelap. Tetapi monster tidak seharusnya tampan, kan? Jika memang berbahaya, mengapa Tuhan menciptakannya begitu indah? Aku jadi berpikir bahwa para korban Ted Bundy merasakan hal yang sama. Kejutan yang luar biasa bahwa seseorang yang begitu menarik bisa menjadi predator.
Belum selesai aku mengagumi iblis tampan dihadapanku, tangannya yang besar terangkat dan menampar pipiku dengan keras. Aku oleng. Air mataku meleleh lagi.
"Aku tidak mengerti. Apa yang salah, Jane?" Suaranya bergetar. Aku hanya diam dan terisak.
"Saat aku membangun dan mempersiapkan semuanya, aku berharap kau tidak akan memasukki tempat ini karena aku percaya bahwa kau gadisku yang baik," suaranya beradu dengan isakanku yang semakin kencang. Aku tidak bisa menahannya.
"Tapi kau memilih jalan lain," suaranya memberat.
"Kau memilih untuk menyakitiku, sayang."
Erick berdiri dan menyeretku ke pinggir, tidak peduli seberapa keras aku menangis dan berteriak meminta maaf. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi, tetapi aku takut. Aku bisa merasakan bahwa pria itu bisa membunuhku kapan saja.
Aku mendapati sebuah gagang besi rendah dengan borgol yang masih terkait. Erick meraih salah satu tanganku dengan cepat dan langsung memborgolku disana. Tangannya juga meraba celanaku dan langsung melucutiku. Ia membuka braku yang tersisa dan menariknya hingga putus.
Aku telanjang bulat, tetapi aku sudah tidak peduli lagi. Yang kurasakan saat ini hanyalah betapa dinginnya lantai yang kududuki sekarang dalam keadaan telanjang.
"Sakit?" Ucapnya sambil mengelus pipiku yang ditamparnya tadi. Aku mengangguk sambil terus menangis. Erick menciumi pipiku yang sudah penuh dengan air mata agar sakitnya hilang. Tetapi tidak hilang.
Erick membelai kepalaku sebelum ia berdiri. Aku menatapnya penuh iba berharap ia tak meninggalkanku.
Tangisku mengeras ketika melihat Erick berjalan memunggungiku menuju pintu. Cahaya dari luar sedikit masuk saat pria itu membuka pintu dan keluar, hingga aku mendengar suara kunci diputar.
Iblis itu mengurungku. Aku takut gelap dan dingin. Aku takut sendirian di ruangan ini. Sekeras apapun aku berteriak, Erick tidak akan peduli kepadaku. Suaraku memantul dan aku hanya bisa mendengar suaraku sendiri disini.
Aku hanya bisa meringkuk dan menangis. Aku menggoyangkan tanganku yang diborgol karena merasa pegal. Pergelangan tanganku terasa sangat perih. Aku bisa merasakan ada banyak goresan disana.
Tenggorokanku terasa sangat kering karena terlalu banyak berteriak dan menangis. Aku sangat haus. Seluruh tenagaku sudah habis. Perutku sakit. Aku kedinginan hingga menggigil disini. Aku menarik diriku ke pinggir dan meringkuk agar rasa dingin dan sakit ini berkurang.
Aku menangis dan akhirnya tertidur dalam keadaan seperti bayi. Meringkuk dan telanjang. Dalam tidurku, aku bermimpi indah. Aku menginjak rumput yang hangat. Kulitku terasa hangat terkena sinar matahari. Gaun yang kupakai sangat indah. Oh, aku bahkan bisa mendengar suara tawa Debora samar-samar. Aku sangat merindukannya. Dimana dia sekarang? Apa dia mencariku?
Seorang pria tinggi menghampiriku. Wajahnya samar terkena sinar matahari. Aku menyipitkan mataku karena silau. Apakah Lewis? Ternyata bukan. Rambutnya hitam, matanya hitam. Tampan. Pria itu memelukku lembut dan menciumku. Erick?
"Erick.. Erick...." aku terbangun. Masih dalam ruangan ini, masih telanjang, masih diborgol. Perutku sakit sekali. Aku terbangun dengan keadaan darah mengalir melalui pahaku.
•••
Halo, sedikit informasi untuk per chapter Dear, Jennifer sekarang bakal di up seminggu / 2 minggu sekali. Untuk kalian yang mau baca lebih cepet, silahkan bisa ke akun karyakarsa ku dan baca disana duluan ❤️ Karyakarsa : Meowrine
atau silahkan bisa klik link untuk chapter 20
https://karyakarsa.com/Meowrine/dear-jennifer-chapter-20Makasih buat yang udah mau dukung di karyakarsa ❤️❤️❤️

KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, Jennifer
Roman d'amourWarning 18+ "Dear Jen, aku gila. aku gila karenamu. aku tidak tahan jika aku hanya harus duduk diam sambil menandangimu tidur lewat layar monitor ini. aku harus menyentuhmu, Jen! aku harus merasakan senyummu! ku harap, kau membalas suratku secepat m...