"Hey! What's going on, sweetheart, you look like a walking die!" Debora menepuk pundakku keras.
"Shhh!! Kau membuyarkan pikiranku, Debby! Tebak apa yang aku temukan pagi ini," aku menyodorkan surat lusuh itu kepadanya.
"Huh?? Lagi? Kau menemukannya lagi?"
"Shhh, no, no. Aku berpikir kalau 'dia' sudah tidak mengirimiku surat sejak tiga hari yang lalu. Aku hanya... telat menemukan yang ini," aku menarik Debora agar duduk.
"Jane!! Dimana kau menemukannya??"
"Di atas dahan pohon apel yang ada di depan jendela kamarku," aku sedikit berbisik.
"APA?! BAGAIMANA DIA BISA MENARUHNYA DI..."
"Shut up! Kau ingin semua orang mendengarmu?" aku menutup mulut Debora dengan cepat.
Tak lama, dia datang. Pria jangkung itu mendekati kami, dan Debora reflek menyembunyikan surat itu di balik tubuhnya.
He looks gorgeous with his auburn hair. Tubuh atletis dan perut abs tercetak jelas di balik baju panjang nya. Yeah, he's my crush. Oh no, he's already my boyfriend actually. Sejak seminggu yang lalu.
"Hey, manis," ucapnya sambil menciumku di pipi, lama.
"Kau terlambat, Lewis," aku mengusap pipi nya yang dingin, mudah karena saat ini dia berlutut di hadapanku.
Dia tersenyum. Aku melirik Debora yang pucat. Dia melirikku seakan bertanya bagaimana menyembunyikan surat itu dari Lewis.
"Uh, Lewis, ayo antar aku ke lokerku," aku mendorongnya berjalan duluan.
Aku telah mengkode Debora agar memasukkan surat itu ke tas ku, jadi dia melakukannya. Aku memang tidak menceritakan pada Lewis perihal aku mendapat surat setiap hari, diikuti stalker atau semacamnya. Dia semacam... posesif.
Aku tidak mau membuatnya marah hanya karena ada seseorang yang mengagumiku. Sejujurnya, bukan hanya mengagumiku. Tapi... mungkin terobsesi denganku. Memikirkannya lagi saja sudah membuatku bergidik.
Aku mengambil kunci dari saku jeans ku dan membuka loker dengan hati-hati. Aku tersenyum lega karena tidak lagi menemukan surat berwarna kecoklatan di dalam seperti beberapa hari yang lalu. Aku segera melipat sweater ku dan memasukkannya dengan rapi.
"Jane, kertas apa itu yang tertempel disana?" tunjuk Lewis ke arah pintu lokerku.
Aku menengoknya, dan aku hampir pingsan. Ada amplop kecoklatan tertempel di dalam pintu lokerku. Ya, di dalam. Dan tertempel.
Aku tidak heran jika suratnya hanya tergeletak di dalam atau terjatuh saat aku membuka lokerku. Bisa saja pengirimnya menyelipkan melalui celah yang ada disana.
Tapi itu tertempel. Harus membuka lokernya agar bisa menempelkan benda di dalamnya. Si gila itu membobol lokerku? Aku mulai pusing. Untung aku cepat tersadar sehingga bisa menahan tangan Lewis yang akan mengambilnya.
"Oh, itu surat dari orang tua ku, sayang. Aku menempelkannya di situ agar tidak hilang," aku pembohong yang buruk. Lewis mungkin berfikir itu tidak masuk akal. Aku tak peduli.
"Orang tua mu masih mengirim surat? Aku yakin mereka sudah mengenal yang namanya e-mail," aku hanya tersenyum.
"Sebaiknya kau segera masuk kelas, Lewis. Aku juga akan masuk setelah ini," aku mengalihkan pembicaraan.
"Baiklah, aku akan ke kelasmu setelah selesai nanti. Dahh," ucapnya sambil mengecup puncak kepalaku sekilas, lalu berlari ke arah sekumpulan anak yang dikenalnya.
Aku membuang nafasku kasar, dan menarik amplop itu hingga hampir robek. Aku tidak tau emosi apa yang kurasakan saat ini.
Aku marah, tapi aku juga penasaran. Aku juga takut, dan itu membuatku lemas. Jantungku berdetak cepat saat aku melihat ke sekeliling kalau-kalau aku bisa tau orang yang sedang memperhatikanku.
"Dear Jennifer,
Sayangku. Maafkan aku, kalau aku tidak memberi surat kepadamu selama tiga hari ini. Kau merindukanku? Akupun begitu. Oh iya, aku punya kabar gembira, manisku. Aku pindah ke sebuah rumah sederhana di daerahmu. Apa kau senang, Jane? Kita dapat menghabiskan waktu bersama. Semuanya pasti akan sempurna. Aku mencintaimu."Aku meremas pinggiran kertas yang tulisannya sedikit lebih banyak dari yang sebelum-sebelumnya. Bekas bulatan basah disana membuktikan bahwa air mataku terjatuh.
Hey, sebenarnya siapa kau yang ada di luar sana? Kenapa aku? Lihat aku, aku tidak cantik! Aku tidak sempurna! Apa tujuanmu mengirimiku surat, hah? Kau hanya menakutiku dengan surat-surat bodohmu! Kau bodoh!! Kau gila!! Aku membencimu, siapapun kau.
•••••
Betapa mengejutkannya bahwa banyak informasi yang bisa kau dapatkan tentang seseorang sekarang hanya dengan nama depan dan sebuah alamat.
Aku mencari online, dan aku menemukan nama Jennifer Jocie Alexander. Itu kau, sayangku. Aku mengetahui kau berusia 19 tahun, dan dimana orang tuamu tinggal. Oh, bahkan aku bisa melihat siapa saja yang berteman denganmu. Tetapi kau tentu mengerti aku, Jane. Itu semua tidaklah cukup.
Jane, aku ingin bersamamu selamanya. Aku ingin berada di sampingmu ketika kau bangun. Aku tidak dapat menunggu lain waktu untuk melihatmu.
Kau bagai narkoba, Jennifer. Jika kau adalah malaikat, mungkin peranmu penting karena kau begitu indah.
Jadi, aku sudah memutuskannya. Aku mencari informasi dan ya! Aku mendapatkannya. Aku membeli sebuah rumah sederhana yang tak jauh dari rumahmu.
Kita semakin dekat, sayang. Aku bisa dengan mudah mengamatimu. Bersabarlah manisku, sebentar lagi tembok yang menghalangi kita akan runtuh dan kita akan terus bersama tanpa penghalang, aku janji. Aku mencintaimu.
•••••
Don't forget to vote and comment if you like this story. Happy reading :)

KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, Jennifer
RomanceWarning 18+ "Dear Jen, aku gila. aku gila karenamu. aku tidak tahan jika aku hanya harus duduk diam sambil menandangimu tidur lewat layar monitor ini. aku harus menyentuhmu, Jen! aku harus merasakan senyummu! ku harap, kau membalas suratku secepat m...