eighteen

2K 129 17
                                    

Erick memelukku erat sambil terengah-engah. Kepalanya berada di bahu ku sehingga aku bisa merasakan keringatnya bercucuran. Perlahan tangannya mendorong tubuhku menjauhinya, lalu menyibakkan rambut yang menutup bahu ku.

"Kau," ucapnya tertahan. Dengan posisiku yang masih berada di atasnya, Erick membelai wajahku lembut.

Basah. Aku tahu dia ejakulasi saat kita berciuman tadi. Aku hendak berdiri saat Erick meraba bagian bawahku yang terkena cairannya. Jemarinya memilin-milin sebelum ditunjukkannya kepadaku.

"Ini. Bukti bahwa aku memang benar mencintaimu," ucapnya sambil menyodorkan jarinya kepadaku. Aku memperhatikan jarinya yang tampak licin dengan ekpresi jijik.

"Taste it, Jane," aku menutup mataku dan menggeleng kuat-kuat. Erick mencengkram lenganku erat sebelum aku sempat mendorongnya.

Erick membawa jarinya kedepan mulutku, tetapi dengan segera aku memalingkan wajah untuk menghindarinya. Aku membuka mataku perlahan dan melihatnya menjilati jarinya sendiri. Pria itu menarik kepalaku dengan kasar, lalu menciumku lagi. Lidahnya masuk ke mulutku, memastikan bahwa aku bisa merasakan 'cairan' nya juga.

"Mmhhh," walaupun sia-sia, aku tetap mencoba melepaskannya. Hal itu malah membuat Erick semakin mengencangkan cengkeramannya padaku.

Tentu saja tenagaku tidak sebanding dengannya. Tanpa berpikir panjang, aku segera menggigit bibir bawah Erick kuat-kuat sehingga ia memekik dan melepaskan ciumannya. Erick menatapku marah, lalu menamparku keras hingga membuat wajahku berpaling kesamping.

Ia berdiri dan menarikku kasar hingga aku terjatuh berlutut. Erick meraih tali yang berserakan didekat kami dan mengikatku lagi. Aku menatap ngeri pergelangan tanganku yang sudah tergores itu, sekarang diikat lagi. Tidak peduli seberapa keras aku memberontak dan memohon kepada iblis itu, ia tetap menyeretku kasar keluar dari ruangan.

Erick memaksaku berdiri, membuat tubuhku bersandar pada tubuhnya agar tidak jatuh. Erick memposisikan tubuhnya di belakangku, lalu menutup mataku menggunakan tangannya.

"Ayo, sayang," Erick berjalan membawaku keluar dari ruangan itu.

Aku bisa merasakan kakiku menapak pada karpet hangat, yang berarti aku sudah keluar dari ruangan sebelumnya. Kami berjalan agak lama sampai akhirnya berbelok. Aku harus menghafalkan letak ruangan-ruangan yang ada di rumah ini untuk melarikan diri.

Erick tidak membawaku kembali ke kamar karena aku bisa merasakan rute yang berbeda. Tidak lama sampai aku bisa merasakan lantai yang basah. Erick membanting pintu di belakang kami sebelum melepaskan tangannya yang menutupi pandanganku.

Aku mulai mengedarkan pandangan ku di ruangan yang sepertinya kamar mandi ini. Terdapat dua shower berbeda yang tertempel di dinding keramik berwarna biru kelabu. Di sisi sebelahnya terdapat kloset yang tertutup tirai transparan. Di belakang kami, terdapat wastafel dengan kaca buram tepat di sebelah pintu. Di sisi terakhir yang bersebrangan dengan kloset, terdapat sebuah nakas dengan model tua yang cat nya sudah pudar.

Erick menarik pintu yang berada di sudut ruangan ke tengah, lalu mendudukkanku disana. Kupikir dia akan menyuruhku untuk mandi, ternyata aku salah. Tanpa berkata apapun, Erick berdiri di depanku dan melucuti pakaiannya perlahan.

"Lihat aku, Jennifer!" teriaknya saat aku memalingkan wajahku dengan cepat. Aku bingung tetapi aku menurutinya.

Aku menatapnya dengan perasaan aneh. Pria itu, aku tidak pernah bisa menebak apa yang akan dia lakukan. Tangannya terus melepas pakaiannya hingga tersisa celana dalam yang sudah basah.

Aku berpindah menatap matanya saat Erick telah berhasil melucuti semua pakaiannya. Siapa yang menyangka bahwa ada hari yang mengharuskanku terikat dan dipaksa melihat pria-tampan-psikopat telanjang. Aku ingin sekali memejamkan mata, tetapi di waktu yang bersamaan aku juga ingin sekali melihat ke bawah.

Dear, JenniferTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang