2. Teater Bintang

712 104 40
                                    

Sebelum membaca, kamu bisa luangkan waktumu beberapa detik untuk klik tanda bintang di kiri bawah.

-:-:-

"Biar saya yang nyetir."

Itulah yang beberapa menit sebelumnya Brenda katakan pada Gelora ketika mereka hendak naik mobil di parkiran. Selepas menyelesaikan ganjalan perut pagi di taman yang asri, keduanya memutuskan untuk bergegas keluar dari areal rumah sakit. Dengan alasan sedang ingin menyetir dan supaya tidak suntuk, akhirnya Gelora dengan senang hati mengiyakan tawaran Brenda. Lumayan, hitung-hitung istirahat sebentar dari kemacetan ibu kota yang seringnya membuat sakit kepala.

"Lain kali nggak usah sampai nginep-nginep di kantor," celetuk Brenda tatkala mobil Gelora yang ia kendarai baru saja melewati gerbang keluar rumah sakit.

"Nggak apa-apa kali, Bren. Lagian kan saya sekalian selesaikan sisa kerjaan. Sembari menyelam minum air, lah."

Gelora lalu mengerling singkat pada pemandangan di luar kaca jendela. Cikini terpantau agak lengang. Kawanan pengendara motor juga belum tampak sepadat biasanya.

"Saya nggak suka pepatah itu."

Brenda protes blak-blakan. Nada bicaranya yang terdengar sedikit senewen, malah membuat Gelora tak kuasa melontarkan tawa kecil.

"Kenapa memangnya?" selidik Gelora penasaran.

"'Sambil menyelam minum air'? Mau ngajarin orang bunuh diri, kah?"

Brenda malah menjawab pertanyaan Gelora dengan pertanyaan lainnya. Pertanyaan yang lantas membuat tawa Gelora pecah begitu saja. Ya, Gelora hafal sekali. Brenda memang bukan perempuan puitis, bahkan kelewat logis. Sampai pepatah pun bisa-bisanya ia uji dengan terlampau teoritis.

"Coba? Nggak salah, 'kan? Benar kan omongan saya?" tanya Brenda retoris, setengah-setengah terdengar seperti bocah yang menuntut agar disetujui pendapatnya.

Gelora yang kian gemas dengan perempuan di sampingnya itu, kemudian tak kuasa membuat jemarinya melayang dan mengacak singkat puncak kepala Brenda—seperti sentuhan seorang ayah yang tengah terhibur oleh sikap lucu putri kecilnya. Sisa-sisa tawa ringan Gelora lalu mengalun.

Brenda hampir saja dibuat risi dengan gestur sang arsitek. Namun kemudian, ia cepat-cepat menutupinya dengan tingkah cuek. Pandangan Brenda berusaha tetap fokus ke arah bentang jalan raya.

"Iya, deh, iya. Kamu benar," ucap Gelora seraya mengangguk setuju, tak sanggup berkilah lagi.

Ketika lampu lalu lintas di perempatan yang jaraknya hanya tinggal 30 meter lagi itu berubah merah, Brenda pun memelankan laju si kuda besi.

"Kamu kan masih bisa ketemu saya di hari lain dan jam lain, Ra. Jangan pas selesai dinas malam ke pagi begini. Udah lima hari berturut-turu saya jaga malam terus. Kayak mau amsyong rasanya. Untung hari ini saya ada off. Kalau enggak, udah saya ..., hiih!"

Tatkala mobil berhenti di depan garis putih pembatas zebra cross, Brenda kian nyerocos tidak sabar. Ia bahkan sempat mengeluhkan waktu liburnya yang terbilang bak mitos pada Gelora. Seraya mata menatap lurus ke perempatan yang mulai ramai dengan pengendara motor, Brenda pun kembali menasihati sang mantan.

"Kamu, tuh. Udah tahu dulu sering langganan tepar di brankar," cecar Brenda lagi sebelum Gelora sempat memotong omongannya. "Jangan suka sembarangan begitu deh, Gelora."

Berdetik-detik kemudian, yang dinasihati belum ingin menanggapi. Tatapan Gelora bergulir dari kaca jendela pada wajah bersih Brenda yang dihias rona mawar dan tersaput lembut cahaya mentari pagi. Tatkala hening sudah cukup lama menawan mereka, Brenda akhirnya menyadari jika sudah diperhatikan terlalu lama. Ia pun menoleh ke arah Gelora. Pandangan mereka bersirobok sesaat. Gelora perlahan tampak menyematkan senyum tenangnya.

Tenderly (FIN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang