13. Di Sisimu

381 49 41
                                    

Sebelum membaca, kamu bisa luangkan waktumu beberapa detik untuk klik tanda bintang di kiri bawah.

-:-:-

Andini, perempuan 29 tahun dengan rambut lurus sebahu itu, masih menatap kedua orang tuanya dengan tatapan tidak percaya. Tangan kanannya terlihat mengepal agak kaku di samping badan. Wajah yang biasanya memiliki raut manis dan tenang, sontak berubah tegang. Salah satu sudut di kawasan unit rawat-inap rumah sakit tua itu, menjadi saksi percakapan serius dirinya dengan sang ayah-bunda.

"Maksud Ayah sama Bunda apa?" tanya Andini, mencoba memastikan kalau pernyataan orangtuanya memang patut diralat.

Wahyu, si lelaki paruh baya dengan tubuh tinggi besar, tampak mengusap wajah yang bagian rahangnya dipenuhi jambang-jambang halus. Ada gurat frustrasi yang menghiasi rautnya. Ia tahu kalau saat ini Andini—putri semata-wayangnya—masih belum sanggup menerima usulan spontan dari dirinya dan sang istri.

"Sebaiknya kamu pikirkan lagi tentang pernikahanmu dengan Gelora, An," ucap Wahyu, yang kali ini terdengar lebih penuh pengertian.

"Tidak perlu dipikir dua kali lagi, Yah. Membatalkan pernikahan itu adalah jalan yang paling baik."

Belum sempat Andini mengomentari ocehan sang ayah, Mayang—sang bunda—sudah keburu mengoreksi ucapan suaminya. Pendapat blak-blakan yang terdengar sarat akan sinisme, spontan menyulut rasa kesal dan sedih di batin Andini. Kepalan tangan gadis itu lalu terasa kian mengeras. Andini menghimpun napas sejenak untuk setidaknya membuat gemuruh di dadanya reda.

"Tunda, Bun. Tun-da, bukan membatalkan," sanggah Andini penuh penekanan.

Mayang yang kian tak sabar, berulang kali berganti pandangan tajam antara sang suami dengan Andini.

"Kamu jangan gegabah, Andini. Kurang dari delapan hari lagi, pernikahan kalian akan tiba. Tapi, kamu lihat kondisinya Gelora sekarang, 'kan?"

"Bunda yang seharusnya jangan gegabah," koreksi Andini tanpa ragu. Mata bulat gadis jelita itu kian tak ragu melempar tatapan sinis pada sang bunda.

"Aku nggak akan berubah pikiran. Kalaupun Mas Gelora memang butuh waktu lebih lama lagi untuk bisa pulih, aku akan tunggu, Bun. Aku hanya akan tunda pernikahan kita, bukan membatalkan."

"Pulih?" Mayang terlihat menukikkan alis. Nadanya terdengar sangat meragukan ucapan anaknya itu. "Andini, kamu sendiri tahu semua kemungkinan buruk yang sudah dibeberkan Dokter, kan?"

Andini membisu, sama sekali tidak ingin menjawab pertanyaan sang bunda yang sudah terlalu dirasa mengintimidasi. Tatkala amarah memuncak di batinnya, pelupuk mata gadis itu pun sontak terasa kian berat karena butir air mata yang membubung.

Mayang menatap dalam-dalam kedua bola mata Andini, seperti menuntut sang putri untuk mengakui kalau ucapannya adalah yang paling benar.

"Sakitnya Gelora itu bukan sakit ringan. Itu penyakit langka yang berat, Andini," ungkap Mayang tajam. "Dan sekarang Gelora sedang koma. Kemungkinan untuk sadar memang ada, tapi juga nggak menutup kemungkinan kalau setelah dia bangun nanti, ada kerusakan syaraf permanen yang terjadi. Kamu tahu itu, 'kan?"

Lagi-lagi Mayang kembali menjejal batin anaknya dengan segala fakta meyakitkan yang sulit ditepis.

"Kalau hal itu terjadi, artinya kamu harus siap melihat Gelora yang bisa saja jadi disabilitas atau cacat seumur hidupnya. Kamu harus siap jika kehidupan pernikahan kamu nanti tidak akan sesuai dengan yang kamu bayangkan di awal, akan ada banyak hal yang mungkin harus kamu korbankan. Merawat orang berkebutuhan khusus tidak mudah, Andini. Kamu siap untuk itu?" serang Mayang.

Andini kian dibuat berkaca-kaca ketika ocehan Mayang semakin terasa menyurutkan harapannya sampai titik nadir.

"Atau yang lebih buruk, mulai detik ini sampai waktu yang tidak jelas, kamu mungkin harus menunggu dia yang kondisinya tidak diketahui kapan akan membaik. Dan satu hal yang paling buruk dari semuanya, bisa saja Gelora sama sekali nggak akan—"

Tenderly (FIN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang