18. Tentang Waktu dan Dirimu

394 45 52
                                    

Bab kali ini panjang, kawans. Silakan dibaca sambil santai dan pelan-pelan supaya tidak ada yang terlewat :)

-:-:-

Gelora

Saya mencoba mengingat semuanya. Namun kemudian, beberapa potongan hanya tampak sebagai gambar buram atau abu-abu di otak saya. Saya mencoba membuka mata, tetapi tidak ada yang mampu saya lihat. Hanya ada hitam, gelap. Tidak tahu di mana, tidak tahu pula waktu telah bergulir berapa lama.

Saya sudah mati, ya?

Hanya itu yang mampu saya tanyakan entah pada siapa. Dan lalu, tidak ada yang menjawab. Bingung dan geming. Saya kadang merasa kalau raga saya tengah berjalan tanpa arah, tanpa tujuan yang pasti. Tidak ada cahaya, tidak tahu pula apakah kaki saya betul-betul sedang bergerak atau tidak. Namun, saya selalu merasa kalau saya seolah memang berada dalam sebuah perjalanan yang ... asing.

Itu saya? Itu betul-betul diri saya?

Pertanyaan penuh rasa takjub itu muncul ketika saya melihat cahaya di kejauhan. Dia bergerak sendiri, kian mendekat ke arah saya. Awalnya, saya pikir itu adalah hal baik dan bukanlah sesuatu yang menyeramkan, hingga akhirnya cahaya itu terasa seperti mulai memakan saya—memakan sampai inti terdalam saya serasa kosong dan tidak bersisa. Aneh rasanya, tetapi kemudian saya justru merasa itu adalah semacam kekosongan yang melegakan. Dan, saya akhirnya melihat sosok saya sendiri di tempat merana itu.

Tidak salah. Itu memang betul-betul saya.

Dan akhirnya pernyataan itu tercetus ketika saya melihat diri saya (atau lebih tepatnya) tubuh saya sendiri di sana.

Gelora jadi ini kamu? Sakitkah itu? Sakitkah memakai semua alat-alat itu di tubuhmu?

Lihat itu, kamu menyedihkan dan tidak berdaya. Sangat.

Terdengar gila memang. Saya menanyakan hal itu pada diri saya sendiri, pada tubuh saya yang kini tergeletak di atas ranjang pesakit. Saya seolah menganggap jika diri saya yang ada di sana bukanlah satu kesatuan dengan saya, seolah kami adalah entitas yang terpisah. Gila memang.

Wajah yang pucat dan tirus, kaki dan tangan yang sudah lumpuh, serta alat-alat penopang hidup itu, semuanya menjuntai dari balik baju dan selimut. Saya merasa kalau saya betul-betul terlihat menyedihkan. Tembok-tembok putih itu bahkan seperti ikut meratapi nelangsa di tubuh saya. Tidak mampu membuka mata, harus makan dengan slang di hidung, bernapas dengan pipa yang disambungkan ke batang tenggorokan, bahkan ketika saya harus buang hajat, seseorang harus membantu saya mengeluarkan dan membersihkannya, apa ini yang disebut hidup?

"Bertahan, ya, Nak. Jangan dulu susul Bang Rama."

"Mama tahu, Bayu mungkin capek. Bayu mungkin kesakitan sekali. Tapi Mama mohon, jangan dulu nyerah. Istirahat sebentar boleh dan Mama juga akan tetap di sini, tungguin Bayu. Tapi, nanti jangan lupa, Bayu harus bangun lagi, ya?"

"Sembuh, ya, Nak. Mama mau lihat kamu jadi ayah dulu."

Mama adalah orang pertama yang saya lihat menumpahkan air mata di depan tubuh saya. Mama berulang kali memohon kepada saya agar saya tidak pergi, dan mengemis pada Sang Pencipta agar memberi saya lebih banyak waktu atau kesempatan. Kecupan-kecupan hangat yang rasanya sudah lama sekali saya rindukan, akhirnya kembali membanjiri kening dan punggung tangan saya.

Setiap pagi, tubuh saya diseka dan dibersihkan dengan hati-hati, seolah saya adalah bayi baru lahir yang masih begitu rapuh. Mama kerap berbisik di telinga saya, mengucapkan kata-kata sayangnya, mengucapkan kalimat-kalimat baik Tuhan. Seperti mata air yang membasuh, luka-luka yang sukma ini rasakan akhirnya telah diteduhkan, dilembutkan.

Tenderly (FIN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang