11. Harap

386 51 46
                                    

Sebelum membaca, kamu bisa luangkan waktumu beberapa detik untuk klik tanda bintang di kiri bawah.

-:-:-

Hari berganti. Bintang-bintang harapan yang telah Brenda langitkan ke surga semalam, seketika harus tanggal ketika pagi itu ia mendapat kabar tidak mengenakkan dari Dokter Anggara.

Penurunan kondisi yang tidak terduga kembali terjadi begitu cepat pada Gelora, hingga akhirnya lelaki itu sampai pada sebuah situasi di mana ia sudah tidak mampu berinteraksi dan mengenal lingkungan sekitarnya. Tenggelam. Gelora tenggelam dalam sebuah ketidakpastian—dalam situasi antara.

Comatose, koma. Terminologi itu bergema dalam ruang kepala Brenda. Berkali-kali dirinya menolak percaya.

Sesuai teori yang Brenda pahami, akan sangat kecil kemungkinannya jika GBS akan membuat penderitanya sampai hilang kesadaran dan koma. Saraf yang diserang adalah saraf peripheral, bukan saraf pusat. Setidaknya itu yang ia ketahui.

"Ini fulmilant GBS, Brenda. Kasus langka."

"Refleks batang otaknya tidak ada. Dia akan punya kondisi yang menyerupai mati otak. 'Pseudo-coma'."

Beberapa penjelasan yang sempat didengar Brenda dari Dokter Anggara kembali terngiang di kepala. Menyadarkan dirinya jika memang ada yang terlewat dari hafalan teorinya. Apa yang terjadi pada Gelora adalah nyata, dan ia harus menerimanya. Pada kasus tertentu, hal-hal buruk yang sangat tidak terduga bisa saja terjadi di luar kendalinya sebagai manusia. Kuasa Tuhan tidak pernah ada tandingannya.

Pantas saja progresivitasnya cepat sekali.

Pantas saja semua ini masih terasa seperti mimpi.

Morning report para dokter residen yang biasa Brenda jalani kala itu, terasa buyar. Raganya memang berada di ruang rapat, tapi pikirannya tersasar di ICU, isi kepalanya penuh akan kondisi Gelora. Beberapa kali, ia bahkan tidak fokus ketika menjawab pertanyaan dari para konsulen atas kasus-kasus yang telah ia dapati.

Brenda sontak mencegat sebentar Gina—si perawat ICU—yang kebetulan lewat di ujung lorong area unit perawatan intensif. Perawat muda bertubuh jangkung itu tengah gantian rehat jaga dengan teman-teman lain. Beberapa detail tentang kondisi mantan pacarnya itu kemudian sempat ia tanyakan pada Gina.

"Lho? Dokter kenal dengan pasien yang namanya Gelora itu?" tanya Gina, cukup dibuat terkesima.

Brenda lupa. Hingga detik itu, memang baru Dokter Anggara saja yang mengetahui perihal hubungannya dengan sang pasien.

"Di-dia teman lama saya," jawab Brenda tergesa, agak gugup. Tanpa menaruh curiga sama sekali, si perawat lalu hanya terdengar mengiyakan mafhum.

"Untuk sementara terpantau lumayan stabil, Dok. Hanya saja tadi tekanan darahnya sempat rendah sekali. Tapi sudah ditangani dan diberi obat sama Dokter Anggara. Semoga saja bisa lekas naik dan nggak akan ada hal lebih buruk lagi yang akan terjadi," jelas Gina tenang. "Dokter Brenda jangan khawatir, saya rasa Tuan Gelora masih punya banyak harapan. Dokter Anggara juga tetap optimis kalau Tuan Gelora masih bisa bertahan."

Brenda kemudian hanya menanggapi dengan anggukan tipis, dalam diam di jiwanya ia juga menyematkan harapan yang sama. Ia sendiri pun cukup tahu detail tentang penyakit langka itu. Meski seringnya menyerang usia produktif, tetapi memang banyak kasus yang akhirnya berhasil pulih. Dia pun percaya jika tim dokter dan perawat ICU pastinya punya kompetensi mumpuni yang tidak diragukan lagi untuk merawat Gelora. Namun tetap saja, tidak menutup kemungkinan kalau bisa terjadi hal-hal buruk di luar kendali, mengingat kondisi Gelora yang seringkih itu.

Inginnya tidak berburuk sangka pada Sang Pencipta. Namun, keraguan itu masih kerap menyergapnya. Di antara gemuruh di rongga dada yang tak kunjung berhenti, Brenda akhirnya menemukan satu lagi sudut tenang di rumah sakit tua naungan Persekutuan Gereja Indonesia itu. Sebuah kapel kecil kemudian menjadi saksi di mana doa-doanya melangit dalam sunyi. Jemari gadis itu terjalin, menyatu di depan dada, kepalanya tertunduk khidmat di depan altar.

Tenderly (FIN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang