Peluh bercucuran di pelipis dan leher. Sekali lagi, lelaki bercelana training dan kaus hitam polos itu, mengambil napas. Jemarinya lalu tampak memijat-mijat sebentar tempurung lutut yang sedari tadi terasa nyeri seraya matanya memandang ke arah parallel bar di seberang ruangan. Alat bantu fisioterapi itu tadi sudah berkali-kali ia coba susuri pelan-pelan dengan berpegangan.
"Sudah selesai, Ra?"
Sebentuk suara pria yang rendah dan tenang menyapa Gelora. Sang arsitek pun sontak menoleh.
"Belum, Mas. Baru ronde satu. Habis ini masih ada," tanggap Gelora seraya menyugar rambut depannya yang sudah agak basah karena keringat. "Mas Hasta sudah selesai?"
Gelora menyebut nama pria berkursi roda yang tampak mendekat ke arahnya. Gelora memang tak sengaja mengenalnya semenjak ia rutin masuk sesi fisioterapi. Hasta juga salah satu pasien terapi fisik rutin di rumah sakit itu.
"Sudah, sih," tanggap Hasta seraya menghentikan laju kursi rodanya di dekat Gelora yang sedang duduk di tepi bed terapi bermatras biru. "Capek banget, ya?" tanya Hasta tatkala mendapati keletihan terbersit jelas di wajah Gelora.
Lelaki bertubuh jangkung itu sekilas mengangguk malu seraya tersenyum. Ia merasa tubuhnya yang sekarang jauh berbeda dengan dulu, staminanya masih sulit sekali untuk ditingkatkan.
"Perjuangan banget, ya, kayak gini. Mau jalan tiga langkah saja, capeknya minta ampun. Rasanya kayak udah pengin nyerah saja," keluh Gelora pelan seraya helaan napas tipis terlontar dari bibirnya.
Hasta kemudian tampak tersenyum maklum tatkala mendengar ucapan Gelora. Ia paham sekali perasaan lelaki di hadapannya itu. Dan lalu, kesunyian memeluk mereka untuk sejenak. Ruangan besar dengan banyak parallel bar untuk belajar berjalan, treadmill, sepeda statis, matras-matras, ataupun berbagai alat-alat penunjang fisioterapi lainnya, tampak tertata di beberapa titik. Itu sudah bukan lagi pemadangan asing bagi Gelora selama kurang-lebih satu tahun belakangan semenjak dirinya sadar dari koma dan berjuang melewati masa penyembuhan penyakit langka yang pernah menyerangnya.
"Kamu pasti bisa jalan lagi," ungkap Hasta, memecah sunyi. "Kamu jangan nyerah, Ra. Kamu nggak seperti saya, kamu masih punya kesempatan itu. Saya yakin kamu pasti bisa jalan lagi seperti dulu."
Hasta kemudian tampak menautkan tatapannya pada mata Gelora. Senyumnya yang ramah dan tenang itu terpulas di bibir. Entah mengapa, setiap kali Gelora menatap raut hangat dan teduh pria yang usianya dua tahun lebih tua darinya itu, kerap akan mengingatkan Gelora pada Rama, kakaknya.
"Ayo, yang semangat." Jemari Hasta lalu menepuk singkat pundak Gelora. "Saya saja yang sudah jelas divonis dokter nggak akan bisa jalan lagi, masih semangat terapi. Ya, seenggaknya untuk menjaga kesehatan saya. Kamu yang masih punya kesempatan besar untuk bisa jalan lagi, nggak boleh nyerah."
Gelora terdiam. Di batinnya bercampur antara perasaan malu dengan tertegun.
"Take your time. Pelan-pelan kamu pasti bisa pulih seratus persen seperti dulu," pesan Hasta sekali lagi. "Masih mau kan peluk pacarnya nggak pakai tanggung-tanggung lagi? Nggak perlu kehalangan kursi roda lagi?"
Nada bicara Hasta yang setengah menggoda itu, spontan membuat senyum rikuh Gelora mengembang. Ia pun seketika membayangkan lagi sosok seorang perempuan baik hati yang tidak pernah jemu untuk selalu ada di sisi—membayangkan jika nanti ia akan mampu memeluknya lagi sambil berdiri dengan kedua kakinya.
"Makasih, Mas," ungkap Gelora pada sosok pria tegar di hadapannya itu. Hasta lalu hanya menanggapinya dengan senyum seri.
Keduanya lalu bertukar obrolan santai lagi, membicarakan hal-hal remeh yang membuat tawa mereka berderai atau sekadar bertukar pengalaman lucu dan tidak terlupakan ketika harus menjalani hari-hari dari atas kursi roda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tenderly (FIN)
RomanceSaya tunggu di taman rumah sakit. Begitulah bunyi pesan pendek yang diterima Mariana Brenda Natasasmita (Brenda) di suatu Sabtu pagi, yang akhirnya menjadi awal pertemuan singkatnya dengan Gelora Bayu Nasution (Gelora), sang mantan. Tanpa menaruh ba...