Ya, Tuhan. Sebenarnya mau ada apa lagi, sih?
Brenda spontan menggerutu dalam hati tatkala angan-angannya akan kasur nyaman di kamar apartemennya tiba-tiba harus kandas karena sosok Andini muncul di hadapannya. Brenda secara total memang tidak tahu maksud kedatangan perempuan itu apa, tapi otaknya sudah keburu menerka kalau urusannya dengan tunangan Gelora yang satu itu pasti tidak akan singkat.
"Mbak Brenda—eh, maksud saya Dokter Brenda," ucap Andini kikuk. Ia tiba-tiba jadi merasa tidak sopan jika memanggil Brenda tanpa embel-embel gelar profesi.
"Panggil nama saja. Nggak apa-apa, kok," tukas Brenda. Mendengar hal itu, Andini lalu hanya terlihat mengangguk tipis dan kembali tersenyum canggung.
Brenda kemudian tampak menyilangkan kaki dengan santai. Deretan bangku tunggu sekitaran selasar rumah sakit mulai jadi saksi perbincangan mereka.
"Maaf ya sebelumnya, Mbak. Saya jadi ganggu waktunya Mbak Brenda. Tapi, memang ada hal penting yang harus saya bicarakan dengan Mbak Brenda sekarang. Saya takut kalau ditunda-tunda, malah nanti keburu sibuk dan tidak sempat lagi ketemu Mbak Brenda," jelas Andini yang masih terdengar sungkan.
"Nggak apa-apa," tanggap Brenda seadanya tanpa banyak protes, meski sebenarnya tubuhnya yang belum sempat tidur selama 24 jam lebih itu, sudah mulai meraung-raung. "Jadi, apa yang bisa saya bantu?"
Andini sekilas tersenyum tanggung. Untuk sejenak, ia menenangkan diri dahulu. Samar-samar, tampak menghimpun napas sebelum bicara.
"Terima kasih, ya, Mbak. Mbak Brenda sudah terima undangan pernikahan saya dan Mas Gelora tempo hari," ucap Andini, yang tidak disangka akan memulai dengan topik canggung.
Brenda yang bingung harus menanggapi apa, kemudian hanya menyuguhkan senyum rikuhnya. Kembali, sunyi pun memberi sejenak jeda.
"Mas Gelora sering cerita banyak hal soal Mbak Brenda sama saya," sambung Andini, yang ternyata tidak kalah mencengangkan. "Jadi waktu saya lihat Mbak, saya seperti merasa tidak asing." Senyum calon istri Gelora itu lalu tampak kembali terpulas tulus.
Satu hal yang kemudian terlintas di benak Brenda, sudah sedetail apa Gelora berbagi kisah tentang mantan kekasihnya dengan si calon istri?
"Jangan khawatir, Mbak. Saya dan Mas Gelora memang saling terbuka perihal mantan. Kami saling cerita dan di antara kami tidak ada yang pernah benar-benar merasa tersinggung atau merasa aneh dengan hal itu," tukas Andini, yang telak menjawab keresahan Brenda. "Dan, saya juga tidak pernah berpikir yang macam-macam soal Mbak Brenda, kok."
Brenda berusaha mencerna, tetapi masih saja gagal memahami arah pembicaraan mereka yang belum jelas titik tujuannya itu.
"Sebelum Mas Gelora sakit, saya kadang masih melihat kesedihan itu di matanya, Mbak." Nada yang sarat akan luka itu berganti, mengalun dari bibir Andini. "Mas Gelora masih sedih karena pernah kehilangan Mbak Brenda."
Brenda jelas tertegun ketika mendengar pengakuan tersebut dari Andini. Itu adalah pengakuan yang hampir sama dengan yang Hasna—ibu Gelora—pernah sampaikan padanya.
"Andini, soal itu ...."
"Mbak jangan khawatir atau takut, sedikit pun saya tidak sakit hati. Saya justru sangat memaklumi Mas Gelora," sela Andini dengan raut yang begitu tenang. "Saya paham bagaimana rasanya kalau tiba-tiba harus melepaskan seseorang yang pernah kita anggap begitu berarti di hidup kita. Saya sendiri dulunya juga pernah mengalami hal yang tidak jauh beda dengan Mas Gelora. Bedanya, saya punya persoalan dengan waktu yang terlampau sempit," jelas Andini.
Gadis itu kembali memutar sejenak kenangannya dengan seorang Rama yang dulu diam-diam selalu punya tempat istimewa di hatinya. Sementara itu, Brenda masih mencoba memahami situasi pertemuan pertamanya dengan Andini yang tidak disangka akan jadi momen pengakuan yang terlampau gamblang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tenderly (FIN)
RomanceSaya tunggu di taman rumah sakit. Begitulah bunyi pesan pendek yang diterima Mariana Brenda Natasasmita (Brenda) di suatu Sabtu pagi, yang akhirnya menjadi awal pertemuan singkatnya dengan Gelora Bayu Nasution (Gelora), sang mantan. Tanpa menaruh ba...