12. Kenangan

345 48 27
                                    

Sebelum membaca, kamu bisa luangkan waktumu beberapa detik untuk klik tanda bintang di kiri bawah.

-:-:-

"Jadi kamu belum selesai ambil program residensi, Brenda?" tanya Hasna ketika ia dan Brenda sudah duduk-duduk berdua di taman.

Sisa waktu rehat yang masih ada, akhirnya membuat Brenda tak punya alasan untuk tidak menemani Hasna. Bangku yang dulu biasa diduduki Gelora jika berkunjung ke rumah sakit, lalu jadi saksi bisu pertemuan dua manusia beda generasi itu.

"Iya, Tante. Belum," jawab Brenda singkat.

Sisa kecanggungan tampak dari gestur Brenda yang masih mencoba duduk agak berjarak dari wanita yang pernah menjadi mantan calon mertuanya itu.

"Nggak sangka kita bisa ketemu lagi di sini, ya," tukas Hasna yang masih berbasa-basi.

Brenda kemudian hanya menanggapinya dengan senyum yang agak canggung dan rikuh. Usahanya untuk tetap menghindar lebih lama dari keluarga sang mantan pacar, akhirnya harus kandas juga. Berdetik-detik kemudian, kebisuan pun menjadi penengah.

Burung-burung gereja mungil tampak mendarat sebentar di rerumputan taman yang hijau. Matahari kala itu tidak terasa begitu terik karena naungan pohon-pohon rimbun di sekitar mereka. Sekilas, ketika Brenda melirik ke wajah wanita penyabar di sebelahnya, ia dengan jelas melihat mendung menggantung di kedua netra tua itu.

"Saya turut prihatin soal Gelora, Tante," ungkap Brenda. Kesedihan terdengar mengalun dari nada bicaranya.

"Terima kasih, ya, Brenda," Hasna lalu mencoba memulas senyum meski terasa terpaksa. "Tolong doakan yang terbaik untuk Bayu," pinta wanita berparas sabar itu dengan tulus. Brenda mengangguk tipis, mengiyakan.

Gadis itu kemudian menyambung obrolan dengan menceritakan sejenak kronologi ketika ia tidak sengaja mengetahui kabar tentang Gelora dari salah seorang perawat ICU, yaitu Gina. Mendengar nama perawat yang familier itu pun, Hasna lalu menanggapinya dengan cukup antusias. Ia kemudian ikut menceritakan beberapa perangai santun Gina ketika merawat Gelora.

Desah yang terdengar penuh letih sontak terlontar dari bibir Hasna saat obrolan mereka masih saja berkutat seputar kondisi penyakit sang arsitek.

"Padahal sebentar lagi ada hari penting untuk dia," keluh Hasna.

Jelas Brenda juga tidak akan lupa. Undangan dari sang mantan sudah ia terima. Dan lagipula, tanggal serta jam akad nikah Gelora yang sama dengan pemberkatan pernikahan Brenda sendiri, telah menjadi alarm pengingat otomatis di benak sang dokter. Dan setiap kali ia mengingat bagaimana lelaki itu justru kini tengah terbaring tidak berdaya menjelang hari pernikahannya, juga akan akan membuat hati Brenda ikut dipenuhi pilu.

"Dokter-dokter yang menangani Gelora masih optimis kalau dia akan sembuh, Tante."

Brenda yang bingung harus berkata apa, akhirnya hanya mampu menghibur Hasna dengan kalimat penyemangat yang ia dengar dari Gina tadi.

Wanita paruh baya itu kemudian hanya kembali berusaha menyematkan senyumnya yang paling tegar. Jemari Hasna lalu perlahan menyentuh tangan Brenda, menyelipkan kehangatannya pada jemari perempuan yang dulu pernah mengisi hati sang putra kandung.

"Hari ini saya ketemu Brenda, Ma. Kasih undangan pernikahan."

Hasna mengingat kembali hari di mana Gelora menyempatkan diri pulang ke rumahnya, lalu minuman hangat yang ia sajikan menemani mereka berdua di malam sejuk selepas hujan. Dan di tengah-tengah percakapan mereka, Hasna akhirnya mendengar nama itu terselip kembali setelah lama absen.

"Brenda." Hasna menaut pandangan pada mata gadis yang dulu juga pernah mengisi hatinya itu. "Malam itu, waktu Gelora pulang ke rumah, Tante lihat masih ada kesedihan di matanya," ungkap Hasna tiba-tiba.

Tenderly (FIN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang