6. Tebet 22:30

321 49 111
                                    

Sebelum membaca, kamu bisa luangkan waktumu beberapa detik untuk klik tanda bintang di kiri bawah.

-:-:-

"Kamu kenapa?"

Pertanyaan itu sontak memecah sunyi yang sedari tadi menyelimuti ruang dalam mobil.

"Apanya?"

Gelora yang masih sibuk memegang kendali setir, lalu mengerling ke arah Brenda. Ia kurang paham maksud pertanyaan perempuan itu.

"Kecapekan?" tanya Brenda lagi.

Bola matanya kemudian memberi kode pada tangan kiri Gelora yang sedari tadi sering lepas dari setir. Bergantian, ia terlihat memijat lutut dan lengan kanannya.

Lelaki itu terkekeh ringan. Antara girang dan takjub, secara tidak langsung, itu artinya Brenda sedari tadi sering memperhatikan dirinya.

"Ya, biasalah, faktor U. Udah sepuh," jelas Gelora santai seraya mengibaskan tangan. "Maklum juga, yang diajak jalan soalnya macam bocah SD kelebihan glukosa, sih. Sampai lelah Opung ini,"

Dengan tampang setengah usil dan ocehan yang terdengar layaknya orang tua, Gelora lagi-lagi menggoda Brenda. Lirikan netra itu tampak agak jahil. Brenda kemudian hanya menoyor kesal pundak Gelora. Kotak tertawa lelaki itu pun kembali tergelitik.

Langit malam di luar sana kian pekat. Jam kian larut, sudah masuk pukul 22:30. Tebet, salah satu kawasan di Jakarta Selatan yang punya banyak deretan kafe dan restauran, serta tempat nongkrong beken para kawula muda itu, masih saja terlihat enggan terlelap. Dari balik kaca jendela mobil yang masih melaju, semua terpantau ramai. Makin malam, Tebet justru terlihat kian hidup.

Suara bersin Gelora mendadak mengalahkan suara penyiar radio yang masih ngoceh dari lubang-lubang pengeras suara mobil.

"Bersinnya nggak bisa lebih imut dikit, ya?" sindir Brenda yang sempat dibuat bergidik kaget karena suara itu. Kekehan ringan yang agak sengau kemudian terdengar terlontar dari bibir Gelora.

"Belum apa-apa sudah flu. Kamu kecapekan, Ra. Tadi harusnya kita nggak usah lanjut nonton. Sampai rumah mandi air hangat, jangan lupa minum obat, tidur yang betul."

Brenda seketika sudah nyerocos agak panjang ketika "mode dokter"-nya keluar.

"Badanmu panas nggak? Kamu kok kayaknya agak pucat, ya? Hm?" selidik Brenda buru-buru.

Pandangan mata perempuan itu menelisik sejenak wajah Gelora, kemudian tangannya refleks meraba dahi dan leher lelaki itu. Untuk sesaat, Gelora belum ingin berkata apa-apa. Untuk sesaat pula, ia membiarkan perhatian hangat Brenda sekali lagi menyentuh batin dan raganya.

"Iya, Bu Dokter Brenda yang paling cantik se-rumah sakit," tanggap Gelora, selayaknya pasien penurut. Ia lalu mengangguk patuh. "Saya nggak apa-apa."

Gelora kemudian memindahkan jemari Brenda dari dahinya. Perlahan mengenyahkan kehangatan sentuhan gadis itu meski ia sebenarnya masih enggan.

Area parkiran sekitaran Stasiun Tebet yang terasa agak sepi, telah jadi persinggahan akhir sebelum Brenda harus melanjutkan sisa perjalanannya sendiri. Mesin mobil masih menyala dan sang penyiar radio juga masih terdengar mengoceh riang.

Brenda memutuskan untuk pulang dengan Kereta Rel Listrik dari Stasiun Tebet ke apartemen pribadinya di bilangan Cikini, dekat rumah sakit tempatnya dinas. Tadinya, Gelora hendak mengantar, tetapi Brenda berkali-kali menolak. Brenda hanya tak ingin membuat Gelora jadi putar-putar terlalu jauh dan sampai rumah kelewat larut.

"Ra, maksud kamu tadi apa, sih?" tanya Brenda tiba-tiba. Keheningan di dalam mobil Gelora seketika hambur.

"Apanya?" Gelora balik bertanya.

Tenderly (FIN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang