17. Yang Telah Lalu

264 45 28
                                    

Kritis, adalah sebuah kata yang digarisbawahi tebal-tebal oleh otak Brenda pada detik itu. Ketika sesi morning report, seorang rekan residen yang bertugas di ICU melaporkan kondisi salah seorang pasien yang mengalami disautonomy yang parah. Sontak jantung Brenda serasa diremas ketika justru nama Gelora-lah yang mencuat lagi ke permukaan.

Residen yang bertugas itu mengatakan jika pada dini hari didapati tekanan darah pasien menurun sangat drastis dan sudah ada beberapa episode bradikardia menyerang pasien yang tengah berada dalam keadaan pseudo-coma itu. Kondisi gawat darurat itu bisa saja terus memburuk dan dapat menyebabkan terjadinya cardiac arrest.

Spesialis Anestesi yang menangani Gelora—Dokter Anggara—telah berusaha mengambil tindakan dengan memberikan beberapa obat yang sekiranya bisa lumayan membantu keadaan disautonomy yang serius itu. Akan tetapi, hingga kini Gelora masih dalam fase yang memprihatinkan, belum ada perkembangan berarti.

Brenda pikir, ia bisa bertugas di hari-hari terakhir sebelum hari H pernikahannya dengan tenang tanpa harus ada gejolak-gejolak aneh. Namun ternyata, ia salah kaprah. Kedukaan yang bercampur dengan rasa takut itu, seketika membuat harinya runyam.

Ada bahu-bahu yang kian lunglai, air mata, dan hati yang terlampau lelah untuk sejenak bersandar pada harapan. Meski pagi begitu cerah, tetapi Brenda hanya melihat mendung yang menggantung di wajah-wajah orang terdekat Gelora.

"Tante, Andini sudah tahu soal ini?"

Brenda sontak menanyakan hal tersebut pada Hasna ketika ia belum mendapati sosok Andini ataupun keluarganya yang berada di dekat mereka.

"Belum," jawab Hasna seraya menggeleng singkat. "Tante masih belum sanggup untuk kasih tahu dia."

Setelahnya, Brenda hanya berakhir memaklumi. Menyakitkan memang, tidak akan mampu ia bayangkan bagaimana sedihnya Andini jika tahu tentang hal ini. Terlebih Brenda memahami perasaan Andini sebagai sesama calon mempelai wanita.

"Hei, Ra," sapa Brenda dengan volume suara kecil. Kini ia telah diizinkan masuk untuk sejenak menilik Gelora.

Jemari Brenda kemudian terlihat mencengkeram side guard ranjang elektrik, hanya mencoba membuat gemetar di jemarinya sedikit reda. Matanya lagi-lagi memindai wajah sang mantan kekasih, memindai kesakitan yang mungkin terselubung di dalam tidur panjang itu.

"Kamu kenapa? Lagi capek, ya?" tanya Brenda, terdengar seperti tengah bicara dengan seorang bocah. "Mungkin kamu memang lagi capek aja, ya. Nggak apa-apa, Ra. Tapi, nanti jangan lupa buat berusaha lagi."

Brenda kemudian tampak memulas senyumnya meski sangat kesulitan. "Itu kata-kata motivasi anak-anak zaman sekarang, sih." Tawa pelan Brenda lalu mengalun sepi, terasa dipaksakan. "Semua orang yang nungguin kamu di sini juga nggak kalah capek, Ra. Tapi, kita tetap nggak ingin nyerah, kok. Kita masih mau ketemu kamu. Jadi, kamu juga jangan nyerah, ya."

Hari terus berlalu, dan sepasang netra indah itu belum juga terbuka, masih tersembunyi di balik kelopak. Kulit pucat, serta tubuh kurus yang kian melemah, adalah hal yang tersisa dari lelaki yang dulunya gagah itu. Namun, hingga detik itu Brenda sama sekali tidak ingin kehilangan harapan jika Gelora akan sembuh seperti sedia kala.

"Besok sudah masuk H-2 pernikahan saya, Ra," ungkap Brenda, memulai lagi obrolan satu arahnya.

"Kamu tau nggak sih, anak residen nggak bisa ambil cuti seenaknya sehari-dua hari. Kecuali kalau memang ada keadaan yang terlalu mendesak atau mau melahirkan. Dan kalau tetap nekat mau cuti, masa saya disuruh ambil cuti satu stase? Gila nggak, tuh?" oceh Brenda, kali ini sempat-sempatnya curhat colongan perkara derita anak PPDS yang kerap bikin sakit kepala.

"Bayangin, hari Sabtu nanti saya sama Adrian pemberkatan, minggunya kita sudah balik lagi kerja. Kapan indehoy-nya kalau begitu ceritanya?" sambung Brenda, diikuti tawa garing. "Kamu pasti pengin ketawa kan dengarnya? Salah sendiri si Brenda. Bisa-bisanya nikah pas jadi anak PPDS. Iya, nggak, Ra?"

Tenderly (FIN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang