20. Remaja

300 38 34
                                    

"Bang Rama," panggil Gelora seraya buru-buru bangkit dari kursi di sebelah ranjang. Ia lalu menyambar selembar tisu di atas nakas.

"Bang Rama istirahat dulu, ya. Belajarnya nanti lagi," ucap Gelora sambil menyeka cairah merah yang tadi ia lihat tiba-tiba keluar dari hidung kakaknya. "Bang Rama pusing? Capek? Atau—"

"Abang nggak apa-apa. Itu biasa, kok."

Seperti biasa, pemuda dengan tinggi sekitar 177 sentimeter berkulit bersih itu, pasti hanya akan menanggapi teguran sang adik dengan nada yang terlampau tenang. Senyumnya yang teduh tak lupa mengekor.

Adirama Farzan Nasution, si mahasiswa prodi arsitektur tahun kedua, tadi sedang serius-seriusnya mengejar materi kuliah yang telah banyak ia lewatkan selama berminggu-minggu. Di atas pembaringan rumah sakit, buku-buku dan lembar-lembar catatan tampak memenuhi overbed table yang menjadi pengganti meja belajar.

"Abang lanjut sebentar, ya. Tanggung dikit lagi," kilah Rama, lalu tampak kembali mengambil pena selepas adiknya itu selesai membantu membersihkan semua noda-noda darah di hidung dan tangan.

"Udah, Bang. Nanti lagi, ya?" bujuk Gelora sabar dan singkat.

Ia lalu membereskan tisu-tisu bekas yang sudah ternoda darah. "Nanti kalau Bang Rama tumbang kayak dua hari lalu gimana?" peringat Gelora lagi. Rama kemudian hanya terdiam mendengarnya.

Buru-buru, kemudian dilepaskannya pena itu dari genggaman Rama dan dijauhkannya overbed table dari sisi ranjang. Gelora jelas tidak akan membiarkan Rama bandel. Kalau sudah begitu, Rama hanya bisa menghela napas pasrah. Gelora memang persis dengan mama mereka kalau sedang cerewet soal kondisinya.

"Kamu tadi langsung ke sini dari sekolah?" tanya Rama, mencoba mengalihkan topik dari persoalan kesehatannya yang pelik.

Gelora kemudian hanya menjawab dengan anggukan singkat sembari dirinya masih membereskan sebentar buku-buku Rama dan catatan-catatannya agar semua tertumpuk rapi.

"Nggak latihan futsal dulu?" tanya Rama lagi.

Gelora sekarang menggeleng. "Di luar hujan."

Gerakan dagunya memberi isyarat ke arah pemandangan di luar jendela kamar rawat-inap yang kini berhiaskan titik-titik air langit. Deru rintiknya yang lumayan deras terdengar agak berisik di atas langit-langit kamar. Memang di luar tengah hujan semenjak satu jam yang lalu, tetapi Rama tahu kalau itu hanya alasan yang dibuat Gelora.

"Lagian, saya sudah kelas tiga SMA. Sudah mau akhir semester, Bang. Nggak ada waktu buat ikut-ikut kegiatan ekskul lagi," lanjut Gelora, yang kemudian berpindah membereskan nakas dan menata obat-obatan Rama. Sudut bibir Rama tampak terangkat ketika melihat polah telaten sang adik.

"Ah, iya. Kamu sebentar lagi SPMB[1], ya? Abang sampai lupa. Kayaknya gara-gara kelamaan di rumah sakit, deh," tanggap Rama, lalu diiringi tawa kecil yang terdengar setengah dipaksa.

Gelora tidak ingin menanggapinya. ia paham, di balik kalimat itu, Rama hanya tengah menyesali diri sendiri yang telah melewatkan banyak hal dari kehidupannya. Dan, semua itu tak lain karena penyakit yang dia idap.

Gelora kemudian hanya mengerling sekilas ke arah wajah kakaknya sembari masih sibuk membereskan bungkusan-bungkusan obat yang sudah banyak kosong.

Setiap hari minum kayak gini? Apa nggak capek? batin Gelora pilu ketika pandangannya sudah kembali lagi ke atas nakas.

Setelah semua beres, remaja berumur 17 tahun itu kemudian terlihat mengambil remot kendali untuk mengatur sudut pembaringan. Gelora hendak membantu Rama untuk kembali berbaring agak rendah, tetapi kemudian Rama keburu menghentikan jemarinya yang baru saja akan menekan tombol—ia menolak halus suruhan Gelora untuk tidur.

Tenderly (FIN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang