[T I G A P U L U H]

148 39 0
                                    

Aling pada malam esoknya. Alih-alih seorang pemuda tigabelas tahun dengan senyum ceria dan tingkah menyenangkan, Aling tampak seperti pesakitan yang baru bangkit dari kuburan setelah divonis meninggal oleh tabib amatiran.

Rambutnya putih beruban, kusam, memirau, seolah warnanya habis terisap malam yang pekat. Tubuhnya kurus, kering kerontang. Wajahnya putih seperti badan belatung, dengan tulang pipi menonjol, bibir pucat pecah, dan mata yang cekung kehitaman. Usianya seolah tergerogot habis hingga ke batas akhir kehidupan.

Terseok-seok, Aling menyeret kedua kakinya kembali ke desa. Di bawah sebuah rumah, di atas tumpukan gabah dan sehelai karung goni. Aling menjatuhkan badan dan meringkuk sakit seperti orang demam yang menunggu ajal.

Tubuhnya menggigil hebat. Ia sebenarnya hendak pergi ke rumah sang tabib, tetapi badannya tidak sanggup. Hanya tidur yang diperlukannya, setelah dikulum kegelapan dan dimuntahkan pada kehidupan. Aling menyesal telah memutuskan pergi ke sana saat dilanda badai emosi.

Tetapi ia tak dapat mundur, maka dilewatinya malam dalam mimpi yang tak terasa. Mimpi beku tentang Inai yang berdiri di atas bukit dan tak mau menoleh ke arahnya lagi. Seolah gadis itu telah melupakannya, untuk selama-lamanya.

"Kenapa tidak coba kekuatan barumu? Banyak penyihir bersujud padaku demi posisimu sekarang."

Bayangan hitam itu tiba-tiba muncul di belakang Aling. Melingkarinya seperti patung-patung di tugu perdamaian. Aling terkejut, tetapi tubuh dan mulutnya tak mau bergerak sama sekali. Ia berada di mimpi yang bukan dalam kendalinya. Seluruh perbukitan tiba-tiba musnah, padang bunga, rerumputan, dan pohon, lenyap begitu saja menjadi uap air panas.

Di sekitarnya hanya ada ruangan bundar, dengan altar kristal tempat bola kaca hitam tersebut mengambang. Ekor sang bayangan berporos pada pusatnya yang berpendar ungu gelap.

"Tidakkah kau bertanya, kenapa aku menunggu kedatanganmu hari itu?" Jari jemari bayangan mengelus dagu Aling, memberi sensasi geli sekaligus mengerikan. Aling bergidik, tetapi tidak mampu berontak.

"Setiap kali kau lewat, aku mencicipi jiwamu dan melihat masa lalumu. Anak malang."

Bayangan menyapukan tangannya ke udara, seketika ruang bundar menghilang. Seperti tenggelam dalam riak air, riak yang baru memunculkan satu imaji yang terus meluas dan melingkupi mereka berdua.

Sebuah pasar, dengan segala hiruk-pikuknya yang menyakitkan. Pasar kali ini harusnya jadi hari yang paling menyenangkan. Apalagi pedagang bulanan dari Timur Antem datang dan membawa barang-barang baru yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Sebuah teko yang dapat memanaskan diri sendiri, obat-obat herbal kering berbentuk jempol kaki, sampai aksesoris gelang tua bermata dua. Seperti bintang biru dan merah.

Aling saat itu masih kecil. Sering ditinggal orang tuanya berkerja, ia yang buta sebelah hanya bisa mengurung diri di rumah dan bermain sekenanya. Dulu ada nenek yang selalu menemaninya. Namun, setelah sang nenek meninggal, hidup Aling menjadi sangat sepi.

Tawaran ke pasar malam adalah momen langka yang tidak akan Aling sia-siakan. Ia begitu gembira, dan tak sabar menunggu senja hilang sampai bulan muncul ke permukaan. Aling yang paling kencang menggandeng tangan kedua orang tuanya. Ia sangat antusias dapat makan permen kapas dan mencoba kacang pedas.

Umur Aling saat itu baru lima tahun. Jarang keluar rumah, dan sering tersesat jika harus pergi sendiri ke suatu tempat. Itu sebabnya ia selalu menggandeng tangan kedua orang tuanya. Mengajak mereka ke tenda atau lapak yang ia suka.

"Aku mau itu!" Aling menunjuk.

"Yang mana?" Ibunya menyahut.

"Itu." Aling mendekati satu lapak topeng. Bentuknya macam-macam, kebanyakan hewan, kemudian ras witera, fams, dan devirin. Aling mengambil satu yang berbentuk kucing. Tertarik pada kumis buatannya yang menjuntai di luar garis. Kedua orang tuanya tertawa ketika Aling mengenakannya dan mengaum seperti seekor harimau.

Fallen ThroneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang