[S E B E L A S] | Aling

344 87 13
                                    

Inai terbangun dari tidurnya seketika seperti disetrum listrik bertegangan tinggi. Kecemasan-kecemasan yang terbendung meledak dalam tubuh dan menjadi energi dadakan untuk segala ancaman. Inai mengangkat tangan, memutar kepala cepat, dan mengambil langkah mundur sedikit demi sedikit. Tidak ada siapa-siapa di sekitarnya. Hanya dinding batu, kosong, dan gelap. Sepertinya masih malam.

Di luar keadaannya berbeda, bunyi serangga saling bersahut-sahutan diikuti gemerisik angin. Inai mendapati dirinya merasa asing dengan alam yang seharusnya familiar. Pikirnya, ia sudah mati tadi.

"Hai," sapa seseorang dari dalam. Inai yang berdiri di mulut goa langsung berbalik dan meningkatkan kewaspadaan. Kemudian ketegangannya mencair, saat anak laki-laki itu menyerahkan secawan batok kelapa dan terperangah ketakutan.  "A-aku taruh airnya di sini, kalau kau tidak mau didekati."

"Tu-tunggu!" Inai tidak mau bersikap kurang ajar. "Terima kasih sudah menolong." Hening. Kalimat selanjutnya tertahan di lidah. "Aku nyaris mati tadi."

"Pasti. Untuk amatiran yang menerobos hutan terlarang tanpa persiapan. Kau tidak membawa kuda dan perbekalan?"

Inai langsung teringat jurang dan suara daging yang jatuh. "Hilang di jurang."

"Astaga."

"Raksasa tiba-tiba muncul dan mengejar. Aku bodoh."

"Yang penting kau selamat."

"Terima kasih, sekali lagi."

"Ini minum." Laki-laki itu menyodorkan cawan, secepat kilat Inai menerimanya dan minum serampangan. "Kau pingsan seharian penuh," anak laki-laki itu memberitahu.

Air di mulut Inai menyembur. "Serius?"

Untungnya laki-laki itu berada di jarak aman. "Iya. Aku menggendongmu ke sini. Dari goa, kita bisa melanjutkan perjalanan selama setengah hari. Mau menunggu pagi?"

"Tidak." Inai sudah terlalu banyak istirahat, dia perlu pergi ke desa neneknya, dan menceritakan kedzaliman sang raja. Siapa tahu mereka bisa bersekutu dan mempercepat proses penyerahan tahta. "Ayo pergi. Kita lewat hutan?"

Anak laki-laki itu menggeleng. "Lewat goa, kita masuk ke dalam."

Sejauh yang Inai ingat, pemandu jalan menyuruhnya menjauhi tempat tersebut. Tetapi Inai bukan anak patuh. Dia sudah melanggar banyak peraturan yang berperan mengantarkan nyawanya ke gerbang rumah Deragus. Masing-masing dari mereka memegang satu obor. Perjalanan terasa panjang dan membosankan. Di mana-mana ada batu, stalaktit dan stalagmit. Inai lupa mana yang disebut stalaktit dan stalagmit. Hanya posisi atas dan bawah yang membedakannya.

Jalan tidak selamanya mulus. Beberapa kali Inai tersandung batu, bertemu ular, kelabang, cacing, dan kelelawar di langit-langit goa. Aliran air mengalir di kisi-kisi batu. Di sini dingin dan lembab. Semakin jauh ke dalam, hewan-hewan mulai berkurang dan nyaris tidak ada.

Anak laki-laki itu pun membuka percakapan. Ia memperkenalkan diri sebagai Aling. Hidupnya tidak menetap di satu tempat. Ia pindah dari satu desa ke desa lain. Hutan terlarang menyediakan banyak jalan pintas kalau tahu patokan-patokannya. Aling cerita bahwa ia seorang yatim-piatu, mencukupi hidup dengan kerja serabutan di ladang-ladang yang sedang panen, dan cacat di mata kirinya adalah bawaan lahir.

"Kalau kau?" Aling menatap Inai. Gadis itu diam dan berpikir menceritakan statusnya sekarang tidak penting.

"Aku kabur dari rumah. Aku muak dengannya yang kawin lagi tiga kali dan menelantarkanku karena aku perempuan."

"O... ke." Aling menggaruk-garuk tengkuk, bingung harus menanggapi apa. "Jadi, sekarang mau ke mana?"

"Ke rumah Nenek."

Fallen ThroneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang