[S E M B I L A N B E L A S] | Permintaan Pertama

273 78 20
                                    

Teh di dalam teko mendingin. Setelah menyeduh, Antang memungut teko yang terjatuh dan mengisinya dengan teh rempah-rempah. Kemudian menuangkan secangkir untuk dirinya sendiri dan minum sesesap. Antang pamit, menundukkan kepala, kemudian pergi dengan salam yang terdengar pahit di telinga. Inai hampir terperdaya untuk memanggil adik tirinya tersebut, namun punggung Antang yang terus menjauh dan menjauh di koridor membuat nyali Inai menciut.

Apa yang sebenarnya terjadi di istana? Inai terlalu lama tinggal di dunianya sendiri. Lama ia merenung, sampai siang beranjak sore, dan seorang dayang muncul mengabarkan makan malam akan segera diantarkan. Inai menolak, ia cuma ingin menyesapi nelangsa dalam kegelapan.

Sampai malam menjelang, Inai masih di kamar, dan belum membereskan peralatan minum tehnya. Ada rasa hampa di dada. Seolah Antang telah merenggut sesuatu dari hatinya dan ia butuh anak itu untuk menjelaskan segala-galanya.

Tidak. Inai harus berpikir jernih. Mungkin saja Antang menipunya. Jadi, Inai bangkit dari kamar dan berjalan-jalan sekitar istana. Di halaman belakang istana, anak-anak kecil berkejaran sambil melayangkan illius di udara. Antang ada di sana, tersenyum lebar dan tampak dewasa. Ia berdiri di tepi lapangan mengawasi adik-adiknya dan sesekali menunjukkan trik kecil dengan menerbangkan burung api yang mengepak-ngepak.

Tidak ada raja, mungkin ia di ruang singgasana. Atau makan malam sendiri di kamarnya. Inai tidak pernah berani menemui ayahnya langsung. Hubungan mereka sangat buruk, bahkan dari dulu tidak pernah akur. Inai memalingkan diri dari teras belakang. Dia lari, berlari ke mana saja, menyusuri selasar, menuruni lapangan tanpa alas kaki, menginjak pasir, batu, kerikil, dan menjauhi cahaya. Sebentar saja, Inai sudah sampai di istal tua yang usang. Tertutup pohon. Kandang-kandang kuda bobrok dan menunggu dialihfungsikan. Kelak, tempat ini akan diratakan, dijadikan ruangan baru untuk kamar tamu, atau taman kecil dengan meja-meja perjamuan untuk menyenangkan raja serta pengunjungnya.

Sekarang, tempat ini cuma reruntuhan usang yang dimakan cuaca. Inai berkeliling, seolah ia tersesat dalam labirin. Padahal cuma ada angin dan suara serangga di kejauhan. Sampai sesuatu tampak meluncur halus menembus awan. Benda itu meledak, seperti bunga seruni yang mekar di angkasa. Tidak hanya satu seruni, tetapi ada dua, tiga, lima. Warnanya merah, kuning, dan hijau. Kembang api.

Ada perayaan di pusat kota. Sesaat Inai terpana dan tidak sadar seseorang menyelinap di belakangnya. Ketika langkah orang asing itu mendekat, Inai segera berbalik dan menciptakan dinding es yang memisahkannya dengan ancaman. Samar-samar, dilihatnya Antang yang terduduk di tanah dengan tampang terkejut.

"Hampir saja aku mati," rutuknya, kemudian berdiri sambil menepuk-nepuk pantat celana. "Kulihat Kakak berlari cepat, kupikir mau kabur."

"Jelaskan padaku semuanya," titah Inai, tanpa basa-basi sedikit pun. Kemudian ia menguapkan dinding es menjadi kabut dan maju menembusinya seperti arwah yang melewati gerbang kematian. "Apa pun yang kau tahu tentang Ayah."

"Lalu, aku dapat apa?"

"Aku bisa memberikan apa saja," jawab Inai cepat, kemudian menggumam beberapa saat, "Kecuali tahta," ralatnya.

Bibir Antang terangkat sedikit. "Aku tidak butuh tahta. Bagaimana kalau permintaan? Kabulkan dua permintaanku dan aku janji akan selalu di pihak Kakak."

"Kalau kusuruh meracuni Ayah, kau mau?"

"Kemudian mati dipancung sementara Kakak jadi ratu? Tidak. Aku pendukungmu, bukan mata-mata."

"Yang kau lakukan sekarang juga seperti mata-mata. Aku curiga, pasti ada udang di balik batu."

"Aku lebih suka udang di balik panggangan. Dan segalanya memang punya alasan."

"Jadi, apa alasanmu?" tanya Inai tajam. Angin mendesau dan menerbangkan helai-helai rambut panjangnya melewati bahu.

"Alasanku ... udang itu enak dan manis—"

"Bukan udangnya, kau! Kenapa kau terus mendekatiku?"

"Karena aku butuh Kakak." Antang mengalihkan pandangan, menendang batu di dekat kakinya sejauh dua hasta.

"Untuk?"

"Kakak ada waktu luang?" Antang mendongak, kali ini menatap langsung ke mata Inai dengan polosnya. Seperti anak kecil yang berharap ditemani bermain.

"Aku punya waktu sebanyak yang kau butuhkan untuk menjelaskan semuanya."

"Malam ini, di belakang istana, aku menyiapkan kereta khusus tanpa dayang dan pengawal."

"Buat apa?"

"Pasar malam."

Inai gusar. Tanpa sadar tangannya terkepal dan mengayun ke bawah keras-keras. "Katakan saja yang kusuruh tadi! Jangan mengulur-ulur waktu."

Antang berbalik, pura-pura tidak mendengar. Ia terus melangkah dan mengoceh tentang kacang pedas, barang antik, dan pertunjukkan hewan-hewan eksotik. Inai terpaksa berlari dan menyusul adiknya, sebelum hasrat melempar bola salju menguat, Antang tiba-tiba menghentikan langkah kaki dan hampir ditabrak Inai dari belakang.

"Ini permintaan pertama," Antang menoleh ke belakang melewati bahu dan tidak kaget melihat Inai yang cuma tiga jengkal dari mukanya. "Kita jalan-jalan sebagai kakak-adik yang baik, oke?"

Fallen ThroneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang