[S E M B I L A N] | Raksasa-raksasa

345 94 18
                                    

Sesampainya di hutan terlarang, hari beranjak senja. Pemandu memberikan Inai peta buatan tangan dan patokan-patokan pohon yang bisa dijadikan penunjuk jalan. Ada guratan khusus di tiap batang pohonnya. Lebih baik Inai beristirahat dan melanjutkan perjalanan saat pagi.

"Iblis-berwujud aktif saat malam."

"Tapi malamlah waktu paling tepat untuk melihat bintang." Inai melihat langit yang bersih. Bintang-bintang bertebaran, banyak rasi dan gugus bisa menjadi acuan. Inai cuma butuh istirahat sebelum lanjut melakukan hal-hal gila. Pemandu pun pergi setelah memberi petuah. "Kalau ada apa-apa, bersembunyilah di dalam goa, tetapi jangan masuk lebih jauh dari mulut goanya."

"Kenapa?"

"Tidak ada yang hidup untuk menceritakannya, Nak."

****

Inai tersesat. Semakin malam ia semakin terjebat dan tidak bisa melihat tanda-tanda di batang pohon. Peta di tangan bukan harapan. Langit pun mendung dan hanya menampakkan beberapa bintang. Inai menambatkan kudanya pada pohon terdekat dan memanjat pohon tertinggi untuk mencari petunjuk jalan. Sekarang waktunya mengamalkan ilmu perbintangan. Di utara, bintang yang paling terang adalah bintang diakrim

"Ia bintang berwarna merah dan biru yang saling bertindihan. Mereka satu-satunya bintang yang dapat menciptakan warna ungu. Seperti diakrim keenam yang keberadaannya misterius hingga sekarang," jelas guru Inka, saat kelas di paviliun seperti biasa.

"Apa itu diakrim?" tanya Inai.

"Pilar dunia. Perwakilan wujud dewa-dewi di Nevra."

"Kenapa diakrim keenam misterius?"

"Karena dia hadiah dari dewa Deragus, dewa kematian."

Sekarang Inai berusaha mengukur jarak dari hutan ke desa neneknya. Dengan melewati hutan terlarang, ia mempersingkat perjalanan dua minggu menjadi dua hari. Setelah tahu ke mana arah tujuannya, Inai turun dari pohon dan kembali memacu kuda. Perjalanan terasa lengang, jangkrik dan kumbang bersahut-sahutan. Aroma rawa mulai tercium, lembab, dan hangat. Hutan terasa tenang dan tanpa halangan.

Belum. Inai ingat, malam masih panjang. Dengan insting, Inai terus lurus ke barat dan tidak mengindahkan apa arahnya berbahaya atau tidak. Sudah telanjur, Inai hanya bisa berdoa. Inai sekali lagi menggunakan sihirnya untuk membuat jalan kristal di atas hutan, melewati sungai, bukit, dan rawa. Sampai akhirnya ia tiba di satu belantara rimba yang asing. Di sini pohon-pohonnya lebih tua. Tumpukan daun mati sangat tebal sampai-sampai kaki kuda Inai terjerembab dan Inai harus turun membantu kudanya bebas. Kabar buruk, manna dalam tubuhnya menipis.

Bohong kalau Inai tidak takut. Sendirian di tengah hutan, tanpa manna yang cukup ia sama rapuhnya seperti semut di tengah pasar. Untuk mengusir ketakutan sekaligus menerangi jalan, Inai menyalakan satu illius, seredup mungkin, mirip pendar kunang-kunang. Ia berkuda dengan hati-hati, berjalan sealur arah angin, dan melumuri tubuhnya juga kudanya dengan lumpur untuk menyamarkan bau. Sampai akhirnya mereka tiba di tepi rawa.

Rawa ini berbeda, mirip kolam di istana dan memiliki belasan teratai kuncup yang berwarna putih juga merah muda. Kunang-kunang berpencar di permukaan air, cantik, seperti bintang yang turun untuk mandi. Tidak ada jalan untuk mengelilingi rawa tersebut, Inai terpaksa menggunakan sebagian besar sisa manna-nya untuk membuat jembatan menyeberangi rawa tersebut. Ia semakin takjub saat berada di tengah kolam, kunang-kunang mengerubunginya, hutan terasa magis seperti di buku dongeng.

Tetapi Inai harus sadar, ia belum lepas dari jerat kematian. Hutan masih panjang. Inai merindukan kamarnya dan kehidupan di istana. Namun wajah ayahnya muncul, kerinduannya langsung pudar, dan tergantikan amarah. Semua gara-gara Ayah!

****

Baru saja Inai melewati rawa, lolongan seperti suara serigala serak berbunyi di kejauhan. Inai berjengit, ia segera memacu kudanya lekas-lekas dari apa pun itu yang kedengarannya mengancam nyawa. Dan benar saja, setelah beberapa pohon purban, siluet sebesar gajah mengikutinya dari kejauhan. Awalnya setinggi menara, kemudian lebih besar dari rumah, sampai Inai menoleh ketiga kalinya ia sadar, raksasa tersebut benar-benar berukuran raksasa. Tanduk di atas kepalanya seolah dapat membelah langit, matanya bulat merah, dan kedua kakinya besar-besar menciptakan gempa.

Jantung Inai berdegup kencang. Ia memang sudah menyiapkan diri untuk segala kemungkinan terburuk. Tapi ia tetap ketakutan. Genggaman pada tali kekang bergetar hebat. Hatinya tenggelam dalam kalut. Saat ia menoleh untuk keempat kalinya, jarak raksasa itu semakin dekat.

"Cepat, cepat, cepat!" lirih Inai ke telinga kudanya, seperti doa yang terlambat dipanjatkan.

Inai tidak tahu lagi ke mana arah yang ia tuju. Semoga benar, ia memohon. Mendadak kaki kudanya terejerembab, Inai oleng, mereka hampir jatuh terpental, untungnya tidak. Kuda Inai meringkik dan berusaha mendompak untuk melepaskan diri. Sia-sia, jebakan alam kali ini lebih kuat. Inai kehabisan waktu. Ia tidak mau mati, tidak sekarang.

Raksasa semakin dekat. Tapak kakinya membuat Inai sadar raksasa itu ada di belakangnya. Ia berbalik, berhadapan langsung dengan teror yang dari tadi mengikutinya. Raksasa tersebut meraung. Tubuh berlemak dan berbulunya bergoyang kelaparan. Dengusannya berbau busuk. Inai mual. Ia tidak punya pilihan.

Tangan rakasasa terangkat hendak menangkapnya. Seketika itu juga Inai mengangkat tangan dan meledakkan manna dalam tubuhnya ke ujung telapak tangan. Cahaya biru terang berkilat seperti petir. Suhu udara menurun drastis. Keping-keping salju berhamburan di atas tanah gambut. Bunga es membekukan tanah seluas belasan meter. Raksasa di hadapannya sekarang berselubung lapisan es tebal, mirip patung pahatan. Lalu tangan raksasa patah, diikuti kaki, badan, dan kepala. Patung itu hancur dan tamat.

Inai jatuh terduduk tidak percaya. Tangan raksasa yang terulur beku di ujung kaki nyaris memecahkan batok kepalanya. Ia hampir mati. Sementara manna semakin sedikit. Butuh waktu lama mengisinya. Inai putus asa, untuk apa berjuang. Ia tinggal menunggu raksasa lain datang dan melumatnya menjadi bola daging rasa ningrat.

Tapi, bukan itu tujuan Inai masuk ke dalam hutan terlarang. Ia harus bertemu neneknya, ini risiko, Inai sendiri yang memilih kabur dari rumah. Akibat dari keputusan-keputusan bodohnya harus ia tanggung. Inai tidak boleh menangis. Akan ada waktu untuk bersedih nanti. Saat ini Inai harus beranjak dan membantu kudanya melepaskan diri dan lari secepat mungkin.

Para raksasa bermunculan, angin membawa aroma asing ke hidung mereka yang kelaparan. Jumlah mereka semakin banyak. Satu per satu menyumbang getaran di tanah menjadi gempa. Kuda Inai goyah, tetapi Inai keras kepala. Sampai daratan menjadi landai dan tanaman-tanaman pakis menghalangi pandangannya di depan. Inai tidak punya pilihan, alih-alih berbelok atau mencari jalan lain. Inai menarik kekang kudanya dan melompat tinggi-tinggi melewati tanaman pakis tersebut. Berhasil. Tetapi bukan daratan yang menyambut mereka, melainkan jurang yang siap menelan orang gegabah saat itu juga. 

Fallen ThroneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang