Dua bulan berselang. Seisi istana mulai misuh-misuh. Dayang-dayang putri Inai menunjukkan kegelisahan dengan menancapkan dupa lebih banyak di akar pohon keramat. Berdoa lebih rajin dan membersihkan kamar tuan putri yang sudah bersih tidak tersentuh. Penasihat bahkan menyuruh tim pencari khusus untuk melacak Inai sampai ke wilayah perbatasan. Hasilnya nihil, di desa terpencil sekali pun, tidak ada tanda-tanda keberaadaan tuan putri. Pasukan pengejar hanya bersaksi, bahwa putri menghilang di dalam hutan dan tidak tampak di jalur umum kereta kuda.
"Apa mungkin dia melewati Hutan Terlarang?" tanya penasihat, lebih seperti pernyataan ketimbang pertanyaan. Raja di hadapannya cuma diam dan pura-pura tidak mendengar. Sejak sebulan lalu ia selalu tampak sibuk dan tidak mau diganggu. Jika ditanya, jawabannya selalu masam.
"Biar itu jadi hukumannya karena membangkang!"
Raja menyibukkan diri seolah putri mahkota tidak pernah lahir sama sekali. Ia tidak peduli. Ia pura-pura tidak tahu seperti biasa. Tetapi didesak terus-menerus, apalagi oleh penasihat dan guru-guru anaknya. Mau tidak mau Raja memerintahkan pasukan tambahan untuk menyisir setiap jalan dan rumah. Kalau perlu melewati perbatasan, dan sampai ke kerajaan seberang.
"Bagaimana kalau Arandar jadi berpikiran macam-macam dengan kehadiran pasukan Isilia? Tanya penasihat, satu bulan setelah Inai kabur dari istana.
"Kirim utusan, jelaskan bahwa kita sedang mencari seseorang."
"Kalau mereka bertanya siapa? Kehilangan putri mahkota dapat mencoreng martabat kerajaan."
Raja terdiam, pikirannya melayang jauh melewati majelis rapat. Di luar kisi burung-burung kecil berkicau. Angin mendesau, menerbangkan daun-daun mati tanggal dari dahannya. Raja kembali menatap penasihatnya.
"Katakan saja, ia seorang buronan."
****
Mata-mata Arandar segera melapor ke hadapan raja. Seluruh petinggi istana dan pemimpin militer hadir untuk mendengar kesaksian orang-orang lusuh berbaju tani. Mereka berkata tentara-tentara Isilia semakin berani lalu-lalang di sekitar perbatasan. Bahkan kali ini lebih banyak daripada sebelum-sebelumnya. Seolah mereka sedang mengamati medan untuk dijajaki.
"Mungkin mereka akan menyatakan perang," tandasnya mencicit.
"Jangan mengada-ada. Isilia tidak mungkin menyerang kita terang-terangan seperti itu!" teriak sang raja. Kerut-marut wajahnya lebih banyak dibanding jumlah bata dalam ruangan. Tangannya mengepal-gusar, bergetar ketakutan. Matanya melotot ngeri, dahinya berkeringat. Alih-alih tampak berwibawa,raja yang gendut justru terlihat seperti bola karet salah cetak yang duduk di atas singgasana.
"Dulu mereka berani mencuri putri mahkota kita. Ingat paduka! Gara-gara Isilia kita gagal mendapat simpati Madjika," teriak sang penasihat, tidak kalah keras. Rambutnya mulai rontok dari kening sampai ubun-ubun kepala. "Andai kita berhasil mengawinkan mereka, dulu, mungkin kita sudah jadi kerajaan makmur dengan kekuatan militer memadai."
"Tapi kita akan selalu jadi bawahan dan penjilat Madjika."
"Itu lebih baik, daripada jadi pecundang tanpa aliansi. Kita lemah Paduka. Kita hanya punya benteng. Menyerang atau diserang, hanya itu pilihannya. Isilia sedang pamer kekuatan. Mereka tahu kita ketakutan, mereka sedang memancing kita untuk menembak duluan."
"Jadi apa yang harus kita lakukan?!" Sang Raja meringkuk takut di atas kulit harimau, warisan ayah dari ayahnya terdahulu.
"Kita minta bantuan Alcataz."
Seketika, semua bulu kuduk dan darah orang-orang berdesir.
Bagi orang awam, organisasi Alcatraz adalah pahlawan. Ketua Alcatraz sendiri berkawan baik dengan semua petinggi dunia. Perkataannya setara titah seorang baginda, tak ada yang menolak, apalagi bila itu untuk kebaikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fallen Throne
FantasyRaja ingin menyingkirkan Putri Mahkota, anaknya sendiri yang dianggap pembawa sial dan sumber utama penyakit permaisuri. Sementara Putri Mahkota bertekad mempertahankan hak tahtanya. Walau dalam hati, ia cuma ingin cinta dan kasih sayang sebuah kel...