Saat Raja kembali, tubuh sang permaisuri telah ditutupi selimut putih seluruhnya. Kamar perawatan tidak pernah semendung ini, bahkan di hari paling berhujan sekali pun. Raja langsung mengusir semua orang di dalam kamar, menyebut mereka tidak becus. Inai mendengar dari kejauhan raungan pilu sang raja yang ditinggal mati istri tercinta.
Bahkan setelah belasan tahun bertahan, Raja tak jua bisa menerima kemungkinan terburuk yang pasti akan dihadapi istrinya.
Inai berduka, di dalam kamarnya yang sunyi. Tumpukan kain putih bertulis tangan hitam teronggok di sudut tak tersentuh. Surat-surat adiknya dari Mortia. Awalnya Inai membalas beberapa surat antusias. Menceritakan ini-itu dan seluruh kemajuan sihirnya. Begitu juga keadaan desa tempatnya kabur selama beberapa hari.
Antang balas cerita tersebut dengan kekagumannya akan Mortia. Teknologi di sini berbeda, begitu ia sebut. Ada banyak benda-benda asing yang dapat bergerak sendiri tanpa harus disihir setiap waktu. Mereka menyebutnya teknoman. Suatu perpaduan teknologi dan manna. Di mana mesin buatan, yang dirancang sedemikian rupa, dibuat berfungsi hanya dengan satu aliran manna sederhana yang dapat dilakukan semua orang.
Contonya kapal terbang. Antang bercerita ia pernah menaikinya sekali. Rasanya benar-benar seperti berlayar di laut, tetapi di bawah mereka bukan air, melainkan awan dan sederetan burung-burung walet yang sedang pulang ke sarang.
Sekarang, cerita-cerita itu tersudut dan tak terbalas. Inai tak punya tenaga pun kisah untuk dituliskan. Ia merasa kesal, benci, dan marah. Di saat ia menerima kehadiran ibunya, di saat itu pula takdir merenggutnya. Bahkan neneknya tidak pulang demi sekadar mengunjungi sang anak di saat-saat terakhirnya. Apa yang terjadi di desa? Kenapa neneknya tidak mau kembali dan merawat sakit ibunya? Apakah nenek sudah membenci keluarganya di sini? Termasuk Inai?
Memikirkan itu semua membuat kepala Inai seakan hendak pecah dan meledak. Diam-diam, ia membenamkan wajah pada bantal dan memelut selimut erat-erat. Menangisi penyesalan. Menyesali ketiadaan.
Sang permaisuri sudah pergi. Ibu kandungnya.
Kedua mata sang raja merah-padam. Hari ia bangun adalah hari di mana seluruh hatinya remuk-redam hancur berantakan. Ia pikir semua hanya mimpi buruk yang kelewat nyata untuk dirasa. Namun saat kembali ke kamar perawatan, ia hanya menemukan mayat istrinya terbujur kaku di sana. Persis seperti sebelum-sebelumnya dalam tidur yang abadi. Tapi kali ini tidak akan ada kemungkinan bangun, detak jantung, dan deru napas.
Istrinya telah tiada. Itulah kenyataan.
Sang raja pulang ke kamarnya sendiri dan melempar semua barang yang ada di sana. Lukisan-lukisan leluhur dicopot dan dibanting dengan keras. Meja minum, bantal duduk, kotak tembakau, dan pipanya. Semua dibuang ke seluruh arah dan mengotori dinding dengan serbuk-serbuknya yang berbau menyengat.
Dalam penyangkalan, ia melihat bayangan tubuhnya sendiri di dinding. Bungkuk dan menderita. Begitu gelap juga sengsara. Oh istriku, sang Raja mendesah. Kekalutan menyelubungi hatinya seperti jaring pada ikan sekarat.
Andai Arandar tidak berulah macam-macam, andai perbatasan tidak ditutup, andai nenek sialan itu tidak tinggal di pedalaman nun jauh di barat sana. Mungkin semua ini tidak akan terjadi, mungkin cinta matinya masih akan hidup lebih lama.
Mungkin ... tidak ada kata mungkin lagi untuk sekarang. Menawarkan apa pun tidak akan membalikkan keadaan istrinya seperti semula.
Semua salah Arandar. Begitu batin sang raja berucap. Seperti doa di tiap ritus penyembahan setiap Rabu. Sang raja mengulang-ulang kalimat tersebut serupa candu. Berkali-kali. Sampai kedua matanya memerah dan senyumnya merekah. Ia akan membuat perhitungan dengan Arandar. Apa pun alasannya, kerajaan itu harus merasakan sakit seperti yang ia derita.
Satu keputusan sepihak yang hanya ia setujui saat rapat. Semua orang menentangnya, tetapi raja terlalu kalap untuk menerima argumen apa pun. Bahkan diam-diam, ia mendatangi sendiri para pemimpin prajurit dan menyuruh mereka menyiapkan perlengkapan secepatnya.
Perang akan dimulai. Arandar harus membayar kekeraskepalaannya. Persetan dengan janji perdamaian. Isilia adalah kota kaya yang punya segalanya. Urusan militer, mereka lebih hebat dari seluruh penghuni Reilas sekaligus.
****
Di satu pagi yang retak, Inai bangun dari kamarnya setelah berminggu-minggu mengurung diri dalam keheningan. Ia cuma makan seadanya. Selalu sibuk membaca buku atau merenung menatap dinding. Taman di sekitar kamarnya melayu seolah ikut bersedih seperti tuannya. Pohon keramat meranggas, daun-daunnya berguguran dalam warna kuning dan cokelat yang menyakitkan. Halaman berubah gersang. Para dayang ikut merasakan penderitaan ini seolah mereka bertambah tua dan tak bahagia jika berlama-lama di dekat sang putri.
Aura hitam yang menyelubungi Inai kembali kumat. Kali ini lebih kuat. Bayang-bayang hitam yang semakin panjang dan bergerilya ke seluruh sudut, manelusup celah-celah kayu dan mengisap kehidupan dari sekitarnya.
Inai tidak sadar saat tubuhnya diperalat kekuatan aneh tersebut. Kedua matanya hanya menatap kosong. Bibirnya separuh terbuka dan seluruh tubuhnya diam seolah terpaku di tempat.
Setelah pulih, ia kembali menjadi Inai yang semula. Namun kali ini lebih dingin dan tak berperasaan. Lebih kepada Inai yang tak ingin hidup dan hanya beraktivitas sesuai jadwal yang sudah otomatis melekat di otak.
Selagi belajar dan melupakan kesedihan, ia tetap membalas surat-surat dari Antang dan bercerita seolah tidak terjadi apa-apa. Lagipula, siapa sang permaisuri untuk anak tersebut? Ia masih punya ibu dan ayah yang lengkap.
Ayah yang kini sering menghilang dari istana dan pergi entah kemana. Inai kerap menangkap geliat resah sang penasehat. Saat di ruang baca, ketika Inai sudah selesai dengan buku pinjamannya. Ia mendengar penasehat berbisik dengan seorang pejabat di balik rak ketika di sebelah kanan.
"Dia benar-benar akan berperang."
"Aku tidak bisa mencegahnya."
"Isilia bisa terancam janji perdamaian."
"Lebih buruk, dewa akan murka dan kita semua yang tertimpa laknatnya."
"Apa yang terjadi?" tanya Inai, datar. Tiba-tiba saja ia muncul dari balik buku-buku seolah sudah berada di sana dari awal pembicaraan. Penasehat dan pejabat berkumis lele di sampingnya tak mampu berkutik.
"Urusan orang dewasa, kelak kau akan tahu."
"Aku lebih dari tahu urusan istana, apalagi menyangkut keluargaku. Ada apa dengan Raja? Siapa yang diajaknya berperang?"
"Tidak ada perang. Lagipula, Reilas hanya pulau kecil yang penuh kedamaian," dusta si pejabat. Kumis lelenya bergetar panik memikirkan kebohongan selanjutnya.
"Hanya Arandar kerajaan manusia selain Isilia. Apa ini menyangkut kematian Ibu?"
"Tidak! Tidak sama sekali," sembur si pejabat. Penasehat langsung meliriknya tajam seolah kecewa dengan geliat tubuhnya yang berkata sebaliknya.
"Anakku," akhirnya sang penasehat mengangkat suara. "Ayahmu sedang kalut dan kami takut, kita akan tertimpa bencana karena keputusan dadakannya. Kau harus bantu kami menghentikan niatan tersebut sebelum terlaksana."
"Terlambat, pasukan sudah siap di garis depan," si pejabat melempar minyak dalam topik pembicaraan. Inai melebarkan kedua bola mata tidak percaya.
"Ayah membenciku, dan semua orang istana tahu ia tidak pernah mendengarkanku. Apa yang kalian harap dariku?"
Penasehat dan si pejabat sama-sama saling pandang, tidak ada, mereka menggeleng.
"Kecuali kalian mau membunuh Ayah dan mengangkatku jadi pemimpin sekarang."
"Tuan putri ..." Sang penasehat tersedak, begitu pun si pejabat yang langsung banjir kepanikan.
"Pilihan terakhir. Tetapi kalau kalian mau ..." Inai menggantung kalimatnya. Tidak ada paksaan, murni pengutaraan semata. Kemudian gadis itu pergi tanpa suara. Sosoknya benar-benar kelam di antara rak-rak buku tinggi dan suasana ruang baca yang remang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fallen Throne
FantasyRaja ingin menyingkirkan Putri Mahkota, anaknya sendiri yang dianggap pembawa sial dan sumber utama penyakit permaisuri. Sementara Putri Mahkota bertekad mempertahankan hak tahtanya. Walau dalam hati, ia cuma ingin cinta dan kasih sayang sebuah kel...