Aling adalah pengecualian. Ia tidak segan pada Tabib Desa yang galak. Sejak menginap dan makan di rumah Tabib Desa, pemuda itu selalu berkunjung jika ada kesempatan. Ia sering menanyakan Inai di mana dan kapan pulang? Penasaran dengan asal-usulnya, kota tempat tinggalnya, juga kenapa keluarganya mengijinkan gadis itu berkelana ke perbatasan sendirian?
"Untuk tubuh yang kecil, kau banyak bicara. Geruskan akar keringnya dulu," perintah Tabib Desa. Aling sudah seperti pesuruh pribadi. Kadang anak itu ke hutan mencari umbi-umbian dan daun obat. Selain membantu petani berladang, Aling bekerja menjaring ikan, memetik buah, dan mengurus ternak. Selama ia mendapat tempat tinggal, makanan, dan sedikit upah: Aling senang.
"Kau sendiri, kenapa tidak tinggal di kota? Pedagang pasti membayar tenagamu," balas Tabib Desa.
"Kota cuma membawa kenangan buruk," jawab Aling, ia tidak berniat melanjutkan cerita. Akhirnya Aling dan Tabib Desa meracik obat dalam diam. Menjelang sore, Aling pamit untuk mengambil jebakan ikan dan mandi di sungai. Kadang, ia teringat Inai yang dulu dibantunya membawakan air. Gadis itu beberapa kali datang, sekali waktu membawa oleh-oleh manisan buah mangga. Saat bertemu, Inai selalu melambaikan tangan dan bertanya kabar Aling bagaimana.
"Baik, aku senang kau kembali!" sahut Aling. Ia pun berceloteh tentang panen salak dan sarang madu untuk Tabib Desa. Inai penasaran rasa madu asli, jadi mereka segera ke rumah, dan mencicipi sarang lebah yang baru dibersihkan dari larva.
"Enak, lebih enak dari manisan buah!" seru Inai.
Dulu, pada pertemuan pertama Aling mengira Inai itu pendiam dan angkuh. Inai memang tidak mudah akrab dengan warga desa. Hanya Aling dan neneknya saja teman bicaranya. Itu pun sudah cukup. Inai tidak mengeluh dan antusias memanjat pohon korsen setapak demi setapak seperti kukang baru belajar memanjat.
"Tinggi," keluh Inai. Padahal ia baru mendaki dua pijakan. Aling mau tidak mau memanjat duluan dan memberitahu dahan mana yang kuat diinjak. Dari atas, Aling mengulurkan tangan dan membantu Inai naik sampai bisa melihat pemandangan desa. Kemudian, mereka memetik buah korsen dan memakannya di jalan menuju hutan untuk mencari tanaman obat.
Pengetahuan Inai tentang daun-daunan sangat payah. Ia juga mudah tersandung dan tidak bisa membedakan jalan setapak dengan tumpukan daun mati. Setiap kali digigit nyamuk, kulitnya langsung kemerahan dan berbekas.
"Nyamuk sialan!" Inai membekukan udara di sekitar kulitnya. Nyamuk-nyamuk terbang menghindar dan gagal beku dalam jebakan es. Perjalanan pun dilanjutkan ke kebun buah. Aling sampai geli ketika Inai bertanya, bagaimana cara mengambil buah durian.
"Pohonnya tinggi sekali, pasti sulit dipanjat." Inai merinding, teringat pohon korsen yang tidak ada apa-apanya.
"Buah durian itu ditunggu jatuh, bukan dipetik dari pohon." Aling terkekeh, "Pernah makan durian?"
Inai mengangguk, "Rasanya aneh. Tidak suka."
Setelahnya Aling mengajak Inai berkenalan dengan anak-anak desa. Sampai sore mereka bermain lompat tali, inting, gundu, sampai petak-umpet. Inai benar-benar kikuk. Ia selalu kalah saat mengumpan kelereng yang diberikan Aling. Bermain lompat tali pun kakinya kerap tersangkut. Bahkan ketika bermain benteng-bentengan, Inai selalu jadi anak pertama yang ditangkap dan harus menunggu pemain lain membebaskannya.
Aling sadar, Inai tidak bisa bermain. Anak macam apa yang tidak pernah menyentuh kelereng seumur hidupnya? Kalah berkali-kali, Inai pun bosan dan memilih pergi dari lapangan untuk pulang ke rumah nenek. Merasa bersalah, Aling mengikuti Inai dan berkata mereka bisa bermain permainan lain.
"Bukan, bukan kalian yang salah," kata Inai sedih. "Aku memang tidak pernah punya teman sebelumnya."
Kenapa? Aling penasaran. Inai enggan berkata apa-apa. Di rumah, gadis itu sibuk merenung dan menghabiskan waktu dengan membaca buku. Jika tidak disuruh meracik obat, Inai akan bermain-main dengan sihirnya di belakang rumah dan menciptakan menara es setinggi pohon korsen.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fallen Throne
FantasíaRaja ingin menyingkirkan Putri Mahkota, anaknya sendiri yang dianggap pembawa sial dan sumber utama penyakit permaisuri. Sementara Putri Mahkota bertekad mempertahankan hak tahtanya. Walau dalam hati, ia cuma ingin cinta dan kasih sayang sebuah kel...