[E M P A T] | Sihir dan Quox

570 110 48
                                    

Inai memiliki kamar paling istimewa di istana. Dilengkapi taman dan paviliun. Serta kolam ikan dan pohon beringin yang dikeramatkan. Konon, pohon tersebut merupakan saksi hidup yang berdiri sejak awal raja pertama berkuasa. Setiap hari seorang pelayan akan mengganti kain kuning yang mengikat pohon tersebut dan menyalakan dupa di antara akar-akarnya.

Pagi sekali, ketika matahari belum beranjak, Inai sudah keluar dari kamar dan duduk di teras depan yang berupa rumah panggung. Kakinya bergelantungan, digelitik daun-daun asoka. Sesekali seekor kucing belang tiga berjalan keluar dari bawah rumah, dan menggeliat di atas tanah sambil berjemur di dekat kolam ikan.

Inai memberikan sepotong ikan asin dari dalam sapu tangan yang terlipat. Melemparkannya ke atas tanah. Beberapa kali Inai mencoba turun dan menangkap kucing tersebut, tetapi kucing itu selalu lari dan sembunyi di balik pilar-pilar rumah.

"Tuan Putri, sudah waktunya mandi," ujar seorang dayang. Ia datang sambil membungkukkan badan. Inai berdiri dan mengikuti dayang tersebut ke rumah pemandian. Di belakangnya, dayang-dayang muda berbaris rapi membawakan kain bersih, pakaian ganti, batu apung, bubuk merang, tanah liat, kelopak bunga, dan wangi-wangian dari cendana, mawar, cengkeh, dan kenanga.

Rombongan Inai pergi ke rumah pemandian yang terletak beberapa teras dari kamarnya. Seperti labirin, istana terdiri dari puluhan kamar dan ruangan yang sambung-menyambung dengan lorong dan selasar. Sebagian terbuat dari kayu dan diatapi ijuk. Sebagian lagi diperbaharui dengan batu bata dan genting tanah liat.

Tempat mandi Inai terpisah dari para pangeran, selir, dan permaisuri. Ini permintaannya, sejak raja menyesal mendapatkan anak perempuan. Inai tidak mau berbagi dengan adik-adik dan ibu-ibu tirinya yang menyebalkan. Yang memalingkan wajah dengan sengaja atau berbelok tajam di ujung jalan ketika bertemu Inai.

Inai mandi di sungai kecil yang dialirkan ke rumah pemandian. Ia turun dari rumah utama dan meniti jalan setapak yang dialasi kerikil-kerikil putih. Melewati pohon akasia, minyak kayu putih, dan ketepeng, yang berperan menghalangi pemandangan umum. Pohon ramania menjuntai dengan buah-buahnya yang menggantung cantik, bulat-bulat seperti anting seorang bangsawan.

Inai masuk ke dalam bilik tanpa atap, melucuti baju tidur, mengenakan tapih, dan turun ke tangga-tangga kayu yang dikulum ombak pasang. Inai duduk di salah satu tangga dan perlahan menenggelamkan diri sampai seluruh rambutnya lenyap dari permukaan. Kemudian muncul lagi, menarik napas, dan membiarkan air menitik dari bulu mata dan pucuk hidungnya ke sungai.

Saat itulah dayang melakukan tugasnya. Tubuh Inai disabun, rambutnya diberi abu merang, dan kulitnya digosok batu apung sampai ke tumit dan ujung siku. Sisa-sisa buih mengapung hanyut, putih kontras dengan warna air sungai yang merah kecokelatan seperti teh. Karena disaring akar-akar gambut. Rasa dan baunya tidak berbeda dengan air murni.

Seusai dibersihkan, Inai tidak langsung beranjak. Ia duduk memainkan air dan meratap. Di hadapannya sebuah daun ketepeng jatuh lalu terbawa arus ke hulu. Hilang dari kamar pemandian, bebas dari istana, selama-lamanya.

Inai bertanya-tanya, bagaimana rasanya pergi dari istana yang menjemukan ini?

Inai tidak dilarang bepergian, hanya saja ia masih terlalu kecil untuk menunggang kuda tanpa pengawasan. Lagipula jika ia pergi jalan-jalan, seperti beberapa minggu lalu ke pasar, Inai pasti menarik perhatian karena membawa rombongan para dayang dan pengawal.

Inai tidak suka jadi tontonan. Seolah ia adalah salah satu atraksi topeng monyet jalanan. Ketika turun dari kereta, masyarakat langsung bersujud. Bahkan untuk  membeli perhiasan-perhiasan kayu kecil terasa sulit, pedagang kios selalu menghindari kontak mata dengan Inai. Sehingga seorang dayang harus ditugaskan untuk membayar dan mengambil barang.

Fallen ThroneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang