[T I G A B E L A S] | Ketenteraman

330 79 24
                                    

Inai bangun kesiangaan dan tidak menyesal. Di istana, ia pasti mendapat hukum pendisiplinan dari guru Inka dengan memanggul dua ember air di tangan kiri dan kanan. Lalu berdiri satu kaki di atas batu sambil menghadap matahari sampai gosong.

Inai keluar dari kamarnya yang sederhana, berisi kasur kapuk yang kempes, dan lampu minyak padam yang meninggalkan  jelaga di dinding. Saat menghampiri bejana air, Inai mencium aroma kunyit dan ketumbar, serta asap dari arah teras belakang. Neneknya sedang memasak. Inai ingin membantu, tapi neneknya menyuruhnya mandi dulu sekaligus mengisi bejana dengan mata air bukit saat pulang.

"Tinggal di sini tidak gratis," nenek Inai mengingatkan. Sama saja Inai merasa dihukum dengan ember dan air. Tetapi Inai tidak sakit hati, ia memang butuh beraktivitas untuk mengisi kekosongan waktu. Melamun bisa membuat depresi.

Enaknya, suasana desa sedang lengang. Penduduk desa sibuk ke ladang serta peternakan mengurus ayam, sapi, dan babi. Hanya orang tua di teras dan anak kecil yang berkeliaran di tanah, telanjang sambil bermain gundu. Orang tua-orang tua itu sedang menganyam rotan menjadi tikar, perangkap ikan, dan topi.

Jumlah rumah di desa tidak banyak. Baru beberapa menit berjalan, Inai sudah sampai di gerbang dan jalan setapak menuju suara percikan air sungai. Tidak ada siapa-siapa di sana, itu bagus. Karena mental Inai belum sanggup bertemu orang baru. Ia yakin, orang-orang desa pasti bertanya siapa dirinya. Sebab penduduk desa sangat solid dan mereka bisa membaui orang asing secepat kera menemukan pisang.

Tetapi, dengan tugas dari nenek, menimba air bisa sangat lama dan membosankan. Jadi Inai menggunakan quox-nya, menciptakan wadah penampungan dari es, dan pipa untuk mengalirkan air ke rumah. Sia-sia, es sangat cepat mencair, apalagi ketika dialiri mata air bukit yang mengucur dari bambu. Seharusnya Inai belajar mengendalikan air, bukan membekukannya.

Menciptakan pipa kristal juga tidak mungkin. Butuh banyak tenaga. Inai hanya melakukannya saat didesak ancaman—ketika jumlah adrenalin dalam darah sedang tinggi-tingginya. Mau tidak mau, Inai belajar menjadi gadis desa yang alami. Ia menunggu air memenuhi ember dan membawanya pulang.

"Mau kubantu?" tanya Aling di gerbang desa. Wajahnya coreng-moreng oleh lumpur. Matanya tetap satu dan senyumnya polos sekaligus geli. "Air di ember hampir habis, tuh."

Inai tahu, ia kesal karena air terus bergerak keluar ketika ia terseok-seok berjalan. Akhirnya dengan senang hati Inai menerima bantuan. Pekerjaan jadi jauh lebih mudah ketika mereka masing-masing membawa satu ember. Cuma butuh lima kali bolak-balik, bejana penuh, tidak separah perjalanan di hutan terlarang.

Kegiatan pun lanjut ke mandi bersama. Inai diberi sabut yang bisa menghasilkan busa oleh neneknya. Di tepi dermaga yang rendah—hampir setara permukaan air—Inai duduk dan membasuh badan membasahi tapih yang membalut tubuhnya. Aling langsung melompat ke sungai dan menciptakan deburan keras. Mereka pun bermain air dan saling menciprati lawan. Ketika lelah belajar berenang—iya, Inai tidak bisa mengapungkan tubuhnya, bahkan dengan bantuan quox—mereka duduk di tepi dermaga dan berbagi cerita.

Aling yang kebanyakan bicara. Dia mengaku dari Arandar, dulu tinggal di kota. Tetapi hidup bebas seperti sekarang lebih menyenangkan. Orang-orang desa sangat baik dan ia betah dengan suasana alam. Inai juga merasa, kalau terlalu lama tinggal di sini, ia bisa melupakan istana. Tetapi Inai tidak menceritakan apa-apa. Hanya sekilas-sekilas.

"Aku juga dari kota. Setiap pagi belajar menulis. Punya adik-adik tiri menyebalkan. Rumah tidak enak, makanya aku kabur."

"Kau berani, kabur sendirian."

"Terpaksa, aku salah pilih rute di tengah perjalanan. Kamu juga, lewat hutan terlarang sendiri."

"Aku punya rute khusus yang aman. Hutan terlarang sudah akrab untukku."

"Kenapa tidak jadi pemandu saja?"

"Aku tidak mau bertanggung jawab dengan nyawa orang."

"Tapi kamu mengantarku dengan selamat."

"Soalnya kau menerobos hutan sendirian, kau pasti terlatih dengan rasa takut."

Seusai mandi, Inai mengganti tapih basahnya dengan tapih kering. Ia membiarkan rambut kuyupnya meneteskan air sepanjang jalan. Aling ikut ke rumah nenek Inai, karena Inai mengajaknya makan siang bersama. Sesampainya di rumah, hidangan ikan bakar, nasi, dan sayur memenuhi permukaan tikar. Nenek keluar dari dapur membawa semangkok air dan menyuruh dua anak di depannya mencuci tangan.

"Makan yang banyak, habis ini bantu aku membuat obat."

Sesuai janji, usai makan, Inai membantu neneknya menggerus obat sementara Aling kembali ke ladang. Obat-obat itu untuk warga desa dan kurir yang setiap minggu mengambil langsung entah dibawa kemana. Konon, kemampuan nenek Inai setara tabib istana. Bahkan lebih. Ia sendiri mampu menahan kehidupan di tubuh lemah ibu Inai selama bertahun-tahun.

"Kadang ada hari di mana aku ingin mengakhiri penderitaannya saja," ungkap nenek Inai. Ia sanggup, tetapi suami anaknya tidak. Laki-laki itu bisa gila kalau kehilangan istrinya. Dulu, nenek Inai memberi larangan pada  suami-istri tersebut agar tidak memiliki anak. Tetapi sang istri melanggar, walau sudah disarankan menggugurkan kandungan. Inai tetap lahir dan kondisi permaisuri yang sudah buruk akibat gas beracun semakin memburuk sampai akhirnya koma berkepanjangan.

Inai tidak tahu harus merasa sedih atau bersalah. Tetapi nenek Inai menyakinkan, bahwa Inai bukan kutukan atau pembawa sial. Ia sama seperti anak-anak lain, murni tanpa dosa.

"Kesalahan orang tuamu bukan kesalahanmu. Kau pantas mendapatkan hidup yang berbeda."

Inai menghapus setetes air mata di sudut matanya, entah sejak kapan ia menangis. Inai janji akan coba menyayangi ibunya nanti saat kembali ke istana—itu pun kalau ia berniat pulang.

Inai melanjutkan pekerjaannya yang lain, yaitu memotong akar-akaran menjadi irisan tipis dan menghamparkannya di atas nyiru. Kemudian nyiru dijemur di luar seharian. Nyiru yang berisi akar kering dibawa masuk. Di pintu, Inai berpapasan dengan neneknya yang turun dari rumah membawa dupa. Nenek Inai meletakkan dupa tersebut di dalam pondok kecil di pekarangan, tempat sembahyang yang dilingkari kain merah dan kain kuning. Dupa ditancapkan dalam mangkok beras berisi sirih dan pinang. Setelah itu nenek Inai berdoa.

Bagi Inai, ibadah adalah pergi ke kuil setiap hari Rabu bersama keluarganya (terpaksa) dan berdoa di depan patung tiga dewa besar. Mereka tidak menancapkan dupa, hanya melempar beberapa keping koin emas, kemudian mendengarkan khotbah, dan menyenandungkan kidung puji-pujian untuk Veilas, Alveira, dan Deragus yang melindungi tiga lapis dunia. Dewa-dewi kecil juga dihormati, tetapi hanya di tempatnya berkuasa seperti Theala, dewi kesembuhan, di ruangan tabib.

Saat nenek Inai kembali ke rumah, Inai tidak bisa menahan dirinya untuk bertanya.

"Nenek berdoa apa?"

"Keselamat keluarga kita," jawabnya sambil lalu. Dan di pondok, Inai melihat dupa tersebut padam padahal tidak ada hujan atau angin bertiup kencang.

Fallen ThroneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang