Aling tinggal di desa lebih lama. Setiap pagi bangun untuk mengambil air dan mengisi tempayan supaya Tabib Desa bisa mengusap tubuh Inai. Lalu Tabib Desa menyuapi Inai makanan cair sedikit demi sedikit lewat mulut, nyaris seperti meminumkan madu dan cairan obat. Inai masih pucat dan tidak sadar. Perbannya sudah dilepas. Patah tulangnya pulih dan ia tertidur pulas meski tampak gelisah.
Lingkaran cahaya berputar konstan mengelilingi tubuh Inai yang payah. Aling kadang duduk di tepi tempat tidur Inai dan menunggu gadis itu bangun menanyakan kabarnya. Namun, sampai seminggu berlalu, Inai belum menunjukkan tanda-tanda akan bangun.
"Sampai kapan ia tertidur?"
"Sampai ia memutuskan untuk bangkit sendiri," jawab Tabib Desa. Tidak ada cara memaksa Inai. Ibunya pun selama belasan tahun masih terjebak fase koma.
"Aku akan menyemangatinya," kata Aling bertekad. Jadi, setiap pagi, selain mengambil air, Aling juga memetik buah-buahan kecil untuk ditumpuk di sebelah bantal Inai. Aling akan bercerita tentang petualangannya kemarin. Mengupas salak atau kelengkeng pemberian warga desa. Ia makan dan berceloteh. Lalu diakhiri kata-kata semangat supaya Inai segera bangun.
"Nanti kita main dan memetik buah nangka lagi. Aku menyimpan sarang madu terenak lho, ayo cepat sembuh!" ujar Aling ceria. Ritual pagi itu akan berhenti ketika Tabib Desa menyuruhnya sarapan di dapur. Siang sampai sore, Aling harus bekerja. Dan malam seluruh tubuhnya pegal kelelahan hingga ia cuma sempat menengok Inai, kemudian tertidur di bilik yang berbeda.
Hari-hari terasa sangat panjang setelahnya. Dari satu minggu menjadi dua minggu. Kemudian tiga minggu. Musim hujan mulai menjenguk. Mendung tampak di ujung cakrawala, menghantarkan kerisauan bagi penjemur gabah dan gerabah.
Aling yang baru pulang berladang dan mandi di sungai, segera mengangkut masuk irisan-irisan akar rumput yang dijemur di pekarangan rumah. Lalu menyimpannya dalam wadah anyaman di lemari. Saat melewati ruang tengah, hati Aling teriris. Inai masih belum bangun dan gundukan buah korsen di samping bantalnya setinggi satu jengkal.
Aling kehilangan nafsu mengoceh dan makan. Ia cuma datang setiap pagi demi memberi semangat. Kadang, Tabib Desa heran, kenapa Aling begitu terikat pada gadis yang baru menjadi temannya tersebut.
"Inai berbeda," jawabnya. "Tapi aku merasa kami sama. Dulu, aku juga tidak disayang orang tuaku. Mataku cacat sebelah dan sejak menikah lagi, ibu lebih menyayangi keluarga barunya."
Itu pertama kalinya Aling cerita tentang masa lalu. Di sore hari yang mendung, Tabib Desa dan Aling minum teh kayu manis sambil membicarakan kemajuan pengobatan. Inai sudah stabil, tetapi ia sendiri belum maumembuka mata.
"Bagaimana kehidupan Inai di kota?"
"Sulit," kata Tabib Desa. "Dia dibenci ayahnya sejak lahir. Inai berusaha belajar dan menjadi yang terbaik agar diakui, tetapi ayahnya gelap mata dan menganggap Inai tidak pernah ada. Anak itu sakit, ia menyembunyikannya dengan bersikap dingin dan jadi pendiam. Pura-pura membenci keluarga kandung dan tirinya, padahal sesungguhnya ia mendamba kasih sayang setengah mati."
"Aku tidak akan menyerah," tiba-tiba Aling menguatkan niat. "Inai tidak boleh melewati masalahnya sendirian."
Keesokan paginya, usai gerimis reda, keajaiban datang. Setelah hampir sebulan tidur lelap, Inai mulai menggerakkan jari-jemarinya dan mengerang sambil mengeluh sekujur tubuhnya kesemutan. Pelan-pelan, Inai membuka matanya dan melihat sekitar "Di mana aku?"
Aling yang baru sampai di ambang pintu, menjatuhkan buah-bauh salak dalam pelukannya, dan menghambur mendekati Inai. Tidak percaya pada kedua matanya, Aling berkali-kali mengucek mata dan tersenyum sumringah berurai air mata bahagia. "Inai, Inai! Ingat aku?"
Inai menoleh lemah, kedua matanya mengawang kosong. Tetapi ia segera tanggap dan balas tertawa karena Aling mulai jelek saat menangis. "Bagaimana kabarmu?"
"Buruk. Aku menunggumu setiap hari."
Tabib Desa berlar-lari dari dapur ke ruang tengah. Sesaat ia termenung di bawah bingkai pintu dan tidak bisa menahan lega yang keluar lewat embusan napas. Tangannya menangkup dada tempat jantung berdetak kencang. "Mau makan apa siang ini?" tanya Tabib Desa.
"Apa saja," jawab Inai, wajahnya masih pucat. Tabib Desa mengangguk, kemudian mematikan seluruh lingkaran cahaya dalam sekali petikan jari. Lantas kembali ke dapur dan meninggalkan Aling bersama Inai.
"Ayo main lagi," ajak Aling.
"Ayo!"
Sejak saat itu, Aling jadi teman yang membantu proses pemulihan Inai lebih cepat. Aling akan menggandeng tangan Inai, menuntunnya berjalan keliling ruangan sampai keliling desa, dan selalu membawakan buah setiap pagi. Inai sendiri merasa jauh lebih hidup dan murah senyum daripada biasa. Ia makan lebih lahap, belajar berjalan lebih cepat, dan mulai akrab dengan anak-anak desa.
"Kayaknya, aku bakal tinggal di sini lebih lama," celetuk Inai.
"Keluargamu di kota?"
"Keluargaku di sini, sekarang."
****
Ocehan penulis: rasanya semakin kaku tapi aku mulai punya banyak waktu luang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fallen Throne
FantasyRaja ingin menyingkirkan Putri Mahkota, anaknya sendiri yang dianggap pembawa sial dan sumber utama penyakit permaisuri. Sementara Putri Mahkota bertekad mempertahankan hak tahtanya. Walau dalam hati, ia cuma ingin cinta dan kasih sayang sebuah kel...