[S E P U L U H] | Anak Laki-laki Bermata Satu

354 91 23
                                    

Inai tidak bisa menghentikan laju kudanya begitu saja. Mereka melompat langsung ke dalam jurang. Dilingkupi kepanikan, Inai berusaha menyapukan tangan ke seluruh arah dan menarik apa pun yang bisa dijadikan pegangan. Ia berhasil menangkap akar tanaman, tetapi tangannya terpeleset, dan ia terjatuh sedikit-sedikit, sebelum akhirnya bisa bertahan di bebatuan yang menyiksa kukunya semakin dalam.

Kuda Inai bernasib lain, hewan malang itu terus jatuh dan menghantam dasar jurang. Suara ringkikanya berubah menjadi daging yang dihantam palu oleh juru masak agar empuk. Di sisi lain, kemalangan terjadi pada para raksasa yang tidak berhasil mendapatkan buruannya. Mereka menjulurkan tangan ke tepi jurang, mengedus-endus, kemudian pergi begitu saja meninggalkan Inai yang berjuang antara hidup dan mati di ujung jari-jarinya. Dengan penuh perjuangan, Inai mendaki, mencari pijakan untuk kedua kakinya, dan bertahan menggunakan siku, agar tangannya bebas memusatkan manna.

Saat ini, sihir mengendalikan hidup berguna. Inai menumbuhkan akar tanaman semakin panjang. Cukup untuk digapainya dari tepi jurang, sebelum manna menyerap nyawanya. Inai memanjat, pelan sekali. Ia mengatur napas setiap dua tarikan dan menahan sakit dari luka gores di telapak tangannya. Hingga akhirnya Inai berhasil dan langsung berbaring di bibir jurang sambil menatap langit. Napasnya mengembun, dadanya kembang-kempis kepayahan. Hampir saja matanya terpejam, Inai sangat capek dan jika ia menggunakan manna lagi, nyawanya pasti lenyap. Inai akan mati tanpa sadar, seperti terkena racun tidur yang tidak berbau dan berasa.

Sekarang bukan saatnya bersantai. Inai harus bergerak sebelum para raksasa kembali. Jadi Inai menerobos semak-semak pakis dengan tangan. Parang dan perbekalannya ikut jatuh ke bawah. Ia tidak punya apa-apa. Inai tidak boleh diam. Tetapi ia tidak tahu harus ke mana, oh dewa, andai ada satu saja pertanda.

Tepat di kejauhan, setitik api merah melayang di udara. Itu bukan mata monster, itu obor.

****

Jantung Inai mencelus, ia segera menyeret kaki-kakinya, dan berlari sekuat tenaga sampai terjatuh dan lututnya berdarah. Inai tidak peduli. Meski duri-duri tanaman menyakitinya, rasa bahagia bertemu api di tengah kegelapan membutakan indra perasa. Dewa benar-benar menolongnya.

Degup dalam dada Inai semakin kuat. Ia terseok-seok sambil merayapi batang pohon untuk berjalan dan terus berjalan. Tidak pernah selama hidupnya ia begitu mendambakan sesuatu, hanya setitik api. Seorang pengelana yang sama sepertinya ada di hutan terlarang itu keajaiban.

Kemudian Inai sampai di balik batang pohon akasia, seorang anak laki-laki yang lebih pendek darinya menoleh dengan wajah ketakutan. Satu matanya tertutup kulit hewan seperti perompak. Hampir saja anak itu kabur, tetapi Inai segera memohon agar anak itu tidak pergi dan ia jatuh dengan dagu menghantam batu.

Kepala Inai pusing, pandangannya kabur berganda, ia berusaha bangkit dan mendapati wajah anak itu meneliti dirinya.

"Kau ... siapa?" Suara anak itu memudar, pandangan Inai menggelap. Ia tidak bisa menahannya lagi. Kedua matanya tertutup begitu saja dan Inai pasrah pada apa pun setelahnya.

Fallen ThroneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang