Tidak ada dayang yang berani menghentikan Inai ke sekolah. Mereka coba mengunci semua gerbang dan mengawasi jendela, Inai tetap kabur dari rumah. Hal ini membuat raja murka. Pembangkangan Inai dianggap penghinaan atas kedudukannya dan mencemari martabat. Cuma anak itu yang bebal dan tidak bisa duduk diam seperti putri kebanyakan.
Ada hari di mana Inai berjanji akan membawa buku-buku dari kamarnya sebagai bahan diskusi dengan Alera. Raja sudah mengatur prajurit untuk berjaga di sekitar gerbang dan memastikan tidak ada celah sedikit pun. Prajurit diberi senjata khusus dari Madjika. Senjata yang dulu di masa perang sangat berguna melumpuhkan penyihir.
Inai yang tidak tahu apa-apa, bangun pagi buta, dan mengendap-endap ke plafon rumah seperti biasa. Ia merayap dari satu rangka kayu ke rangka lain, memanjat atap, dan berayun ke batang pohon terdekat untuk turun ke ceruk pagar batu yang lebih rendah. Inai merapal dan berkonsentrasi, sambil menggenggam quox, ia menciptakan tangga kristal, dan segera memanjat dinding ke sisi sebelah.
Inai melompat ke dunia luar dengan mudah, kemudian kaget luar biasa ketika puluhan prajurit mengepungnya dengan tombak terhunus serentak.
"Minggir dari jalan!" hardik Inai. Ia tetap memasang wajah angkuh dan tidak terindimidasi. Pemimpin prajurit menyeruak dari barisan dan menjawab bahwa ia melaksanakan mandat dari raja.
"Putri Mahkota tidak boleh pergi tanpa ijin Yang Mulia Raja. Jika melanggar, kami terpaksa membawa Tuan Putri kembali ke istana."
"Aku hanya ingin sekolah dengan tenang."
"Maafkan kami, Putri."
Tomba-tombak tetap menghadang. Inai mengayunkan tangan setengah lingkaran ke depan dan mengirim angin yang membekukan tulang. Prajurit paling depan tersungkur, tombak mereka patah, dan kakinya menempel pada bunga es yang terus menjalar sampai ke lutut. Prajurit lain mendekat, perisai mereka juga membeku dan dihantam anak-anak panah es yang meluncur dari kedua tangan Inai.
Prajurit demi prajurit terjengkang ke belakang, gerakan mereka terhambat. Para prajurit mundur di perbatasan antara padang salju dan hutan. Inai melawan balik dengan panah-panahnya yang tidak menusuk titik vital, ia fokus menyerang pelat dada, dan helm besi mereka hingga terpental.
Para prajurit terdesak, pemimpin mereka gantian mengambil posisi terdepan tanpa membawa pedang atau tombak. Sikapnya seperti hendak menyerah, tetapi ia membawa kendi kecil seperti tabung minum di tangan.
"Maafkan kami," pemimpin itu bersujud dan merangkak mendekat. Dari kendinya ia menaburka pasir-pasir hitam yang langsung melelehkan es dan mematikan sihir dari satu tangan Inai yang terkena. Pasir-pasir hitam tersebut langsung berubah putih dalam sekejap.
"Apa itu? Mundur!" Inai mengancam dengan satu tangan tersisa, ia terjebak antara dinding dan para prajurit.
"Anikis," jawab pemimpin prajurit. Nama itu terdengar asing. Lagi-lagi pasir hitam menghujaninya. Inai berusaha menghadang, tetapi pelindung sihirnya luruh setelah bersentuhan dengan benda tersebut. Anak panah kristalnya hancur, es-es mencair. Tubuh Inai berselubung pasir hitam dan berkilauan ketika pasir berubah putih. Manna hilang dari dalam tubuh Inai, quox-nya memadam, aliran sihir terhentj, ia tidak bisa menggunakan kekuatan sama sekali.
Inai jatuh bertekuk lutut di atas tanah, tidak percaya dengan penangkal sihir yang dihadapinya. Seluruh usaha dan tenaga demi mempelajari sihir seakan tidak ada apa-apanya dibanding benda ajaib tersebut. Para prajurit segera meringkus Inai seperti tawanan, dan mengembalikannya ke dalam lingkungan istana. Inai berjalan terseok-seok sambil dikawal prajurit di kiri dan kanan. Dayang yang melihat hanya mampu menangis di tepi selasar.
Inai yang masih syok, terkejut ketika berada di kamarnya. Kasur belum dilipat, pot-pot tanaman layu, bergelas-gelas ikan kecil mati, dan seekor kucing kurus sekarat di atas bantal. Kamarnya seketika terasa asing dan Inai duduk di tengah seolah melihat dunia yang baru.
Di luar prajurit berbaris, tubuh mereka masih dipenuhi bunga es. Raja lewat dengan jubah tidur dan mahkota di kepala. Ia tersenyum mengetahui senjata rahasianya berhasil. Dengan bungah raja menapakkan kaki ke kamar Inai dan terkejut mendapati ruangan tersebut jauh dari ekspektasinya.
"Yang begini kau sebut kamar?"
Inai masih setengah sadar. Kehilangan sihir membuat dirinya goyah hingga ia lupa siapa pria tua beraut kecut di hadapannya.
"Berantakan. Seperti pembuangan kebun binatang. Kenapa diam, kaget? Kau tidak ingin tahu pasir apa yang menyerap manna-mu tadi?" Puas melihat tampang bodoh anaknya, raja mengelus janggut dan tertawa ringan. "Dulu di perbatasan, di balik benteng, anikis disebar untuk melemahkan sihir. Tidak lama, cukup untuk melumpuhkan penyihir tanpa pelindung magis apa pun. Kadang anikis dicampur ke bilah pedang, tombak, atau panah. Bagaimana rasanya kalah?"
Inai bungkam. Kendati mendengar, ia belum bisa merangkai kata untuk melawan. Tiba-tiba ia merasa lemah dan ayahnya seseram raksasa dalam buku cerita. Gemetar menjalari kaki-tangan Inai, liur tertahan di tenggorokanya, dan perasaan sesak bercampur pahit menghimpit dada serta jalur pernapasan.
"Mana sikap angkuhmu yang biasa?" Raja terkekeh. Melihat Inai menciut seperti tikus basah membuatnya semakin senang dan puas. "Kutanya, kenapa kau melanggar perintah-perintahku?"
Inai terdiam, kepalanya masih mencerna omongan-omongan raja.
"Jawab!" bentak raja.
"Untuk belajar." Akhirnya Inai bisa menelan kegugupannya.
"Apa guru-guru dan pelayan pribadimu kurang?"
"Ya." Kepercayaan diri Inai kembali. Anikis tidak mengambil sihirnya, hanya memperlemah. Nyaris saja Inai mati ketakutan karena berpikir bakal hidup tanpa sihir selamanya. Ayahnya bertindak sejauh itu karena yakin Inai punya potensi membahayakan. Dan Inai seharusnya bermain-main dengan kemenangan ayahnya yang rapuh.
"Untuk apa?"
"Untuk menjadi kuat." Inai tersenyum. "Dan menggulingkan Ayah serta seluruh pangeran."
"Kau lebih pantas membusuk hidup-hidup dimakan belatung dan di neraka bersama Deragus."
"Semua yang mati akan kembali pada Dewa Kematian. Ayah juga."
"Berani kau menjawab!"
"Bukankah Ayahanda yang menanyaiku duluan? Aku bersuara karena kau menyuruhku."
Keriput di wajah sang raja bertambah. Ia panggil prajurit di depan pintu dan menyuruhnya memasang borgol anikis di tangan Inai. Gadis itu menjerit, memberontak, dan berusaha kabur. Tetapi sia-sia, anikis sudah terpasang, tiap kali ia berusaha mengendalikan manna pergelangan tangannya memanas dan sakit yang hebat segera menusuk saraf-sarafnya.
Begitu terus berulang-ulang. Teriakan Inai menggema keluar dari dalam kamar. Tak ada yang berani menjawab, apalagi menolong dan membantunya bebas. Pohon keramat dan kolam ikan seolah jadi saksi bisu siksaan yang dialami sang putri mahkota.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fallen Throne
FantasyRaja ingin menyingkirkan Putri Mahkota, anaknya sendiri yang dianggap pembawa sial dan sumber utama penyakit permaisuri. Sementara Putri Mahkota bertekad mempertahankan hak tahtanya. Walau dalam hati, ia cuma ingin cinta dan kasih sayang sebuah kel...