[D U A P U L U H L I M A] - Misi Penting

266 68 9
                                    

Sekujur tubuh Aling menegang disengat panik. Ia berlari ke ladang dan menangkupkan tangan di depan mulut, berteriak minta tolong sekeres-kerasnya. Peladang mengira Aling dikejar hewan buas, cepat-cepat mereka mengangkat kaki dari tanah lumpur dan membawa senjata tajam. Sesampainya di jalan setapak, Aling menunjuk tubuh Inai yang terkulai pingsan. Warga yang mengenal cucu Tabib Desa segera bergotong royong mengangkat tubuh Inai. Darah terus menetes dari lukanya saat ditandu perlahan-lahan.

"Aku datangi Tabib Desa," seru Aling kalut. Ia lekas lari mencapai gerbang, dalam waktu sekejap sudah di jalan dan berpapasan dengan anak-anak yang barusan mengantar kepergiannya.

"Ada apa? Ada apa?" tanya anak-anak desa. Sedetik saja Aling singgah dan menjawab, "Inai luka parah!" Lantas pergi memanjat teras rumah Tabib Desa dan mendapati wanita sepuh itu mempersiapkan tikar di ruang tengah.

"Bagus," ucapnya tanpa melihat Aling. "Ambilkan kendi-kendi obatku, kapur, lilin, dan abu sekam. Sekarang!"

Aling yang heran, segera mengulum tanda tanya dan pergi ke ruang penyimpanan. Ia bingung bagaimana Tabib Desa bisa tahu. Jauh lebih bingung lagi obat apa saja yang dimaksud dan di mana abu sekamnya disimpan. Fokus! Aling menampar dirinya sendiri. Ia harus tenang. Akhirnya ingat abu sekam ada di dapur dan biasa dipakai menggosok jelaga dari peralatan memasak.

Saat Aling sampai ke ruang tengah, warga desa sudah tiba dan menurunkan tubuh Inai di tikar dan memberinya bantal dari kain lipat. Tabib Desa cepat-cepat berterima kasih dan meminta semua orang pergi. Kecuali Aling.

"Tugasmu belum selesai, rebuskan aku air," perintahnya. Aling patuh, buru-buru ia ke dapur dan menghidupkan tungku untuk menjerang ketel. Lama menunggu, Aling kembali lagi ke ruang tengah dan mendapati Tabib Desa menutup jendela serta pintu hingga ruangan sunyi senyap.

Tabib Desa tampak serius, ia meneliti tubuh Inai dengan saksama. Mencari celah yang terlewat serta memeriksaa luka-luka yang baru berhenti mengalirkan luka.

"Tulang bahunya bergeser, beberapa rusuk patah, dan terdapat pendarahan dalam yang hebat. Ambilkan aku air hangat tadi."

Aling segera ke dapur dan kembali membawa semangkok logam air yang telah dipanaskan. Dengan kain basah, Tabib Desa menggosok darah kering dan lumpur yang mengerak. Kemudian menggunting jubah dan pakaian Inai. Aling segera memalingkan muka dan pergi ke dapur. Berdoa, agar Inai selamat dan dewa masih memberinya kesempatan.

Entah apa yang Inai perbuat, Aling menggigit kuku dan memikirkan penyebab Inai luka parah.

"Sakit!" teriak Inai dari dalam ruangan. Aling ingin masuk tapi segera menghentikan niat dan duduk lagi dengan khusyuk.

"Sakit. Sakit. Sakit!" perempuan itu meraung. Dari erangan, berubah menjadi hentakan keras di lantai rumah. Inai menendang-nendang dan tiba-tiba saja mangkok logam terpentang nyaring merambat sampai ke dapur. Barangkali Tabib Desa sedang melakukan ritual sihirnya. Aling ambil bagian dengan gencar merapalkan doa seolah ia yang sedang menghadapi kematian sekarang.

"Sakit ... bunuh aku, bunuh!" Inai meracau. Aling ingin masuk ke dalam ruangan dan memberinya semangat. Tetapi ia takut. Hatinya tidak akan kuat menatap kondisi Inai yang payah. Ia terlalu syok sejak awal bertemu di jalan setapak tadi.

"Maafkan aku," ucap Aling sedih, karena menjadi pengecut. Mengingat luka-luka Inai membuat kakinya limbung.

"Aku mau mati," teriak Inai lagi. Beberapa detik kemudian tendangan-tendangan kaki Inai melemah. Gadis itu kemudian menangis. Tidak ada lagi teriakan yang menyayat kuping. Aling terdiam untuk memastikan pendengarannya tidak salah. Ia membuka mata—entah kapan terpejam. Lantas memberanikan diri masuk ke ruang tengah.

Di ambang pintu, telinganya menangkap suara yang pelan dan tenang, "Aku masih ingin hidup, tolong." Dan Aling tertegun, bibirnya melengkungkan senyum sekaligus terharu sampai menitikkan air mata rasa bersyukur.

****

Hari menjelang petang, Inai telah beristirahat dengan tenang di balik selimut bersih dan tertidur pulas. Tidak lagi gaduh. Kendati parah, Tabib Desa bilang penyembuhannya sukses dan berlangsung cepat.

"Inai memutuskan bertahan sampai akhir," jelasnya. Aling di sebelah Tabib Desa, duduk sambil memeluk lutut, dikelilingi abu sekam yang dilukiskan berbentuk lingkaran dan simbol-simbol rumit. Di sekitarnya melayang cakram-cakram cahaya tembus pandang yang berisi tulisan kuno berjumlah dua belas. Mengorbit konstan seperti bulan kepada bumi. Menjadi satu-satunya penerang dari ketiadaan lampu minyak karena mereka berdua lelah untuk sekadar berdiri sesaat.

Tabib Desa tampak lebih tua dari siang tadi. Beberapa helai rambutnya lepas dari sanggul. Wajahnya dibingkai peluh dan sorot matanya layu dalam keremangan cahaya.

"Kenapa Inai terluka?" tanya Aling polos.

"Nanti kau tanyakan saat dia sadar."

"Kenapa Inai bertindak nekad?"

"Sudah tradisi keluarga. Ibunya lebih parah dari ini."

"Ibu Inai juga sakit?"

Tabib Desa mendongak, pandangannya jauh menerawang seolah membayangkan seseorang. "Ya, sejak Inai lahir, ibunya tidak pernah bangun dari tidur."

Lalu, Aling teringat pekikan Inai yang ingin mati sebelumnya. "Apa yang menahannya di dunia?"

"Entahlah. Aku juga bertanya-tanya kadang."

"Kalau misalnya Inai memilih mati?"

"Lingkaran sihirku akan ikut mati bersamanya."

"Aku ... tidak kenal dengan Inai," Aling berkata murung, nyaris menangis. "Dia selalu menutup diri, menyembunyikan masalah. Aku tahu Inai kabur dari rumah karena benci ayahnya. Saat bertemu, ia selalu yang pertama menanyakan kabarku, mengajari membaca, dan memperkenalkan dunia di luar desa. Karena Inai juga, aku ingin belajar ke kota. Tapi sekarang, saat terpuruk, ia tetap bungkam dan tidak mau membagi bebannya padaku."

Tabib Desa mengangkat tangan, ia mengelus canggunng kepala Aling dan memalingkan wajah ke sisi lain ruangan. Tidak ada kehangatan, Aling pun merasa hanya ditepak alih-alih ditenangkan. "Inai lahir di keluarga yang menuntutnya kuat. Bukan salahmu, kalian cuma beda latar belakang." Tabib Desa menarik tangan. "Tetaplah berteman dengan Inai. Ia cuma punya dirimu sekarang."

Pundak Aling terasa lebih ringan. Bungah ia menepuk dada kuat-kuat dan berkata seperti prajurit yang setia, "Siap, Nek!"

Wanita tua itu tergelak ringan dan segera menyuruh Aling membantunya ke dapur untuk memasak. Malam ini, Aling tidak jadi pergi ke kota. Aling punya misi lebih penting untuk mengawasi Inai selama tidur panjangnya berhari-hari ke depan.

****

.
.
.
.
Halo, penulis di sini. Bagaimana kabar kalian selama masa pandemi? Pasti rasanya serba susah dan terbatas. Jadi mau cerita sedikit, besok saya akan mengikuti sidang skripsi. Karena belum boleh ke kampus, sidangnya akan dilangsungkan secara onlen. Tapi jujur, rasa gugupnya masih sama dengan waktu ketemu langsung. Saking gugupnya jadi susah tidur, makan mulai tidak beraturan. Pokoknya udah kayak orang habis putus cinta //eh

Ngomong-ngomong cinta, kalau kalian punya iPusnas, saya mau rekomendasikan novel Gadis Kretek. Ceritanya seru, rasanya seperti menelusuri sejarah kretek di Indonesia berbalur romance. Mulai dari merajang tembakau, melipatnya dalam buluh pembungkus, sampai saus rahasia yang menjadi kebanggaan tiap merek. Saya sudah meninggalkan ulasan kecil di sana. Semoga kalian dapat gambaran~

Jadi, selamat membaca, sehat selalu ya~

Fallen ThroneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang