2

1K 160 28
                                    

Menahan malu, Tobio masuk ke ruang guru untuk bertemu dengan Wakatoshi. Pemuda mungil itu berjalan menunduk sambil menutupi bagian belakang celananya yang sobek.

Tok tok tok

"Permisi.." Tobio masuk lalu membungkuk. Tampak Wakatoshi tengah menilai pekerjaan murid-murid dengan sebuah kaca mata yang menggantung di hidungnya. "Duduklah Tobio.."

Meskipun Wakatoshi tidak melihat kearahnya, Tobio mengangguk sebagai jawaban. Pemuda manis itu duduk dan diatas meja sudah terdapat sebuah seragam.

"Untukmu, tidak perlu bingung membayarnya aku yang belikan"

Kepala Tobio terangkat. Ia menatap sang guru dan mengerjapkan mata berkali-kali. Wakatoshi masih tak menatap kearahnya. "Sungguh sensei?"

"Hm, nilaimu bagus. Tetap pertahankan itu jangan biarkan mereka yang mengganggumu membuatmu jatuh"

Tobio tersenyum. "Trimakasih sensei.."

Wakatoshi akhirnya mengangkat wajah. Ia tersenyum tipis lalu mengangguk-anggukan kepala. "Ne Tobio, sekarang bawalah segaram ini jadi kau bisa lekas ganti"

"Trimakasih banyak sebelumnya, tapi kenapa sensei mem-"

"Sudah ku katakan tadi, nilaimu bagus. Ini hadiah dariku. Sekarang gantilah."

Tobio menelan ludah lalu mengangguk. Ia mengambil seragam di meja lalu bangkit berdiri. "Sekali lagi trimakasih banyak sensei.." Tobio membungkuk berkali-kali.

Kini senyum Wakatoshi melebar. "Ya.. Oh ya satu lagi, jika ada yang menggagumu jangan takut untuk melapor"

"Tidak ada sensei.." Bohong Tobio sebelum keluar. Wakatoshi hanya menggeleng, sudah jelas-jelas Tobio terbully namun kenapa pemuda mungil itu tidak pernah melawan?

.
.
.

Sebagian besar anak-anak sudah pulang. Tak dapat dipungkiri Tobio merasa iri kala melihat anak-anak sekolahnya dijemput oleh orang tua mereka . Bagaimana rasanya? Memiliki orang tua yang selalu ada, Tobio penasaran rasanya.

Grep

"Oi, apa yang sedang kamu lihat?"

Tubuh Tobio tersentak saat mendengar bariton berat kakaknya. Pemuda manis itu mengadahkan kepala lalu menggeleng. "Tidak ada.. Nii-san lama"

Tooru terkekeh lalu mengacak rambut Tobio. "Gomen, aku lama karena membelikanmu ini.." Si tampan mengulurkan sebuah es krim yang bisa dipatahkan menjadi dua.

Senyum Tobio merekah saat keduanya berbagi es krim. "Trimakasih nii-san.." Hati Tooru terasa sejuk mendengarnya, kekeh kecil Tobio dan wajah manisnya.

"Mm.. Ja"

Tooru tiba-tiba berjongkok di depan Tobio. Kedua alis Tobio terangkat. "Kenapa nii-san?"

"Naiklah, kamu capek menungguku kan, ayo"

"Tidak.." Tobio menggeleng.

"Sudah ayo"

Tobio pun naik ke gendongan Tooru. Diatas gendongan ia melahap es krim. Rumah mereka untungnya tidak begitu jauh. "Bagaimana harimu?" Tanya Tooru.

Tobio teringat kejadian disekolahnya lalu terpaksa tersenyum. "Sangat menyenangkan. Hari ini temanku mentraktir makanan di kantin" Bohongnya.

"Oh ya. Baguslah kalau kamu punya banyak teman.."

"Sou.. " Setelah es krim habis. Tobio mengeratkan lingkar tangannya pada leher Tooru. Pemuda manis itu menyandarkan dagunya pada bahu sang kakak sambil bibirnya mengerucut. "Bagaimana dengan nii-san?"

"Hariku biasa saja kok.."

"Hum, nii-san mau makan apa sore ini?"

"Apa saja yang kamu masak, nii-san akan memakannya.. Masakanmu yang terenak di dunia"

Tobio terkekeh lalu mentoel pipi Tooru. "Mana ada, nii-san bercanda"

"Tidak, sungguh enak kok"

Canda tawa begitu renyah diantara keduanya. Walau tak sedikit orang yang melewati mereka, yang tidak tahu mereka bersaudara, menatap aneh.

Hubungan sesama lelaki bukan hal umum di sini.

.
.
.

Sampai di rumah, Tobio turun dari gendongan Tooru dan cepat-cepat berlari membuka pintu.

Si tampan terkekeh melihat sifat adiknya. Setelah berganti baju, Tobio mulai memasak. Banyak hal yang ia lakukan jika sudah di rumah, mengangkat jemuran kering, menyapu dan mengepel, belajar, mengerjakan pr.

Tooru turun hanya mengenakan kaos hitam dan celana pendek selutut. Ia duduk di kursi makan untuk melihat kegiatan adiknya. Satu kata. Sempurna. Itulah Tobio di mata Tooru.

"Tobio-chan.."

"Ne?"

"Aku ingin menjadikanmu istriku"

Tobio yang tengah memasak pun menoleh dan tertawa. Apa-apaan perkataan kakaknya itu. "Maksud nii-san, nii-san mau cari istri yang bisa memasak seperti ku, begitu kan?"

Tooru menegakkan duduknya lalu menggaruk rambutnya yang tak gatal. "Ahh iya maksudku yang seperti itu.."

Pemuda tan itu kembali menyandarkan dagunya pada kursi. Matanya melirik kesana kemari mengikuti pergerakan Tobio. Tidak ada obsesi, perasaan Tooru murni sayang. Tobio hanya terlalu berharga untuk dilewatkan.

"Nii-san bisa tolong bantu taruh ke meja makan.."

"Sou sou.."

.
.
.

Ceklek

Tobio yang tengah membaca novel diatas ranjang menoleh kearah pintu. Terlihat sang kakak dengan sebuah guling dipelukannya. "Boleh aku tidur disini?"

"Tentu saja.."

Tooru menutup pintu lalu meloncat keatas ranjang. Tobio tertawa lalu memukul pundak kakaknya pelan. "Nanti ranjangnya patah kalau nii-san terlalu bersemangat"

"Haha.. Kamu sedang baca apa?"

Kepala Tooru menyelip diantara tangan Tobio, berbaring di dadanya sambil melihat kearah lembaran novel.

Sesaat Tooru mengadahkan kepala. "Bukankah ini novel sudah lama, kamu sudah membacanya berkali-kali.."

"Aku suka ceritanya jadi aku baca berulang kali.."

Tooru melingkarkan tangannya pada perut sang adik. "Meski kamu membacanya berulangkali, alur seritanya tidak akan berubah.. apa tidak bosan?" Tobio yang sedang membaca hanya menggeleng.

Beberapa saat, mata Tooru terasa berat. Tobio pun dengan pelan meletakkan novel ke nakas dan mematikan lampu meja.

"Selamat malam nii-san.." Tobio balik memeluk Tooru.

Siapa sangka yang lebih tua membuka mata. Ia menarik selimut lalu membenarkan posisi tidur hingga ia sejajar dengan Tobio dan saling berpelukan.

Jantung si tampan berdebar. Tooru tak bisa menghilangkan perasaan lebih dihatinya kepada adik kandungnya sendiri. Ia menyukai Tobio. Pemuda tan itu sudah sering memikirkan Tobio. Biarkanlah perasaan ini hanya Tooru yang tahu.

"Selamat malam, Tobio-chan.."

Stigma (OiKage) ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang