6

801 127 34
                                    

Usai mengantar Tobio sampai gerbang, Tooru lanjut berjalan sampai ke sekolahnya.

"Oi Tooru!"

Si lelaki tan pun menoleh, tampak Iwaizumi dan Matsukawa mendatanginya. Mereka berdua adalah sahabat sekaligus kawan satu genknya.

Tooru tersenyum miring lalu diikuti kedua temannya ia masuk ke area sekolah. Lelaki tan itu sangat populer, selain tampan dia juga nakal. Langganan ruang bk. Tak heran ibu kandungnya sendiri kualahan.

Tooru dikenal tak terlalu pandai namun karena wajahnya sangat tampan, tidak sedikit yang malah suka padanya. Dibalik sosok penyayang nan lemah lembut, ada Tooru yang suka memukul dan menindas.

Plak

"Kacamatamu jelek, kau terlihat bodoh memakainya haha" Olok si tan. "Kacamata seperti ini pantasnya ada di tempat sampah."

Tak berlama-lama, Tooru menggendong tubuh pemuda berkacamata itu lalu memasukkannya kedalam tong sampah. Teman-temannya tertawa.

Mungkin karena hatinya sakit, Tooru jadi melampiaskannya kepada yang lebih lemah.

Tiada hari tanpa berulah itulah Tooru di sekolah.

.
.
.

Kringg

Bel pulang sekolah menggema. Tooru yang sejak tadi tertidurpun akhirnya bangun. Ia mengusak mata dan mendapati seorang gadis berkacamata tengah berjalan kearahnya.

"Permisi, Oikawa-kun aku ingin memberimu ini" Ujarnya. Tooru bangkit berdiri lalu membuka amplop yang gadis itu berikan.

Sontak murid-murid yang masih ada di kelas menyoraki Tooru, tak luput pula Iwaizumi dan Matsukawa. Tooru hanya tertawa sambil menggelengkan kepala. Lagi-lagi sebuah surat cinta.

"Siapa namamu? Namamu saja aku tidak tau bagaimana aku bisa menerimamu" ejeknya.

Perkataan yang cukup menusuk bagi si gadis. "U-ushijima Aeru.." Ujarnya terbata dengan genangan air mata di pelupuk.

Tooru memperhatikan wajahnya lalu tertawa. "Kenapa menangis? Aku tidak salah kan? Nih aku kembalikan. Aku tidak Kiyokot dengamu" Tooru menempelkan amplop tadi dikening si gadis seraya menjenggungkannya.

Grep

Diambilnya kacamata Aeru yang bersarang diatas tulang hidungnya. Si tan pun tersenyum miring. "Gila, kau minus berapa? Pantas saja pasti tidak pernah berkaca ya? Aku tidak suka denganmu dasar payah"

Iwaizumi dan Matsukawa tertawa. Makin hari ucapan Tooru semakin pedas saja. Mereka bertigapun pergi meninggalkan gadis tadi.

Aeru hanya menangis ditempat dalam diam. Ia meremat surat cinta digenggamannya dengan hati yang sakit.

.
.
.

"Sampai jumpa Tobio.." Wakatoshi melambaikan tangan pada lelaki mungil yang sudah berjalan keluar dari ruangannya. Sejak beberapa hari yang lalu dia dan Tobio jadi lebih sering bertukar cerita.

Senyum cerah terpampang di wajah tampan pria bermarga Ushijima itu hingga sebuah pesan masuk membuat senyumnya turun. Wakatoshi segera meraih kunci mobil dan melaju pergi.

Dirinya berhenti di depan sebuah sekolah. Sesaat setelah turun dari mobil ia melihat adiknya tengah menangis. Si pria segera menyebrang dan merengkuh sang adik ke pelukkannya.

"Apa yang terjadi denganmu? masuk ke mobil."

Setelah keduanya masuk ke dalam mobil Wakatoshi menghapus air mata di pipi adiknya. "Kenapa Aeru?"

Aeru hanya menangis dan sesenggukan bahkan untuk menceritakan kejadian tadi ia tidak sanggup. Ia sedang sangat patah hati dan malu sekarang. Merasa ada yang tidak beres, Wakatoshi pun melaju pulang.

.
.
.

Tiba dikediaman keluarga Ushijima, Aeru turun dari mobil dan langsung masuk meninggalkan kakaknya. Tanpa emngucap sepatah kata dan auranya sangat suram.

Wakatoshi mengacak rambut kasar. Perempuan memang rumit, ditanya baik-baik bukannya menjawab pasti langsung pergi.

Usai menghela napas dan menenangkan diri, Wakatoshi menyusul ke kamar adiknya.

Ceklek

"AERU!!"

Mata Wakatoshi membulat melihat adiknya yang tengah menyayat pergelangan tangan. Segera pria itu berlari dan menghentikan pendarahan sang adik dengan kain. "Apa kau gila?!"

Digendongnya sang adik dan seketika Aeru pingsan. Hal terakhir yang ia lihat adalah Wakatoshi menggendong tubuhnya.

Untuk remaja seusianya, patah hati bisa menjadi alasan untuk bunuh diri. Tingkat stress yang diterima cukup tinggi karenanya. Belum lagi rasa malu akibat cacian Tooru yang begitu menusuk tadi.

Sampai di rumah sakit, Wakatoshi hanya bisa menggigit jari. Ia cemas akan kondisi adiknya sampai-sampai ia meninggalkan ponsel di mobil. Pria besar itupun kembali ke mobil, tak hanya ponsel, Wakatoshi juga menemukan sebuah amplop yang tampak kusut.

Diraihnya amplop itu dan uratnya menjadi tegang saat membaca isinya. "Jadi kau, Oikawa Tooru.."

Amarah membuncah dihati Wakatoshi, dia pernah muda jadi pasti tahu alasan kenapa surat itu diremat, adiknya ditolak.

"Lelaki brengsek seperti itu, aku bisa menilai hanya dengan melihat tatapan matanya. Sialan kau Oikawa Tooru."

.
.
.

"Nii-san"

Tobio berlari menghampiri Tooru yang bersama teman-teman nya. Pemuda manis itu membungkuk ramah. Tooru tersenyum lebar kemudian merengkuh pundak adiknya.

"Adikmu cantik" Ujar Matsukawa yang dibalas anggukan kepala oleh Iwaizumi.

Seketika Tooru melayangkan tatapan tajam pada dua temannya. Bagi Tooru ucapan mereka terdengar seperti pelecehan dari pada pujian.

Grep

"Wow santaii" Matsukawa sedikit terperanjat saat si lelaki tan mencengkram kuat kerahnya tanpa aba-aba.

Tentu saja Tobio terkejut. Tooru yang ia kenal adalah orang yang lembut dan tak pernah menyakiti orang lain.

Setidaknya begitulah Tooru di mata Tobio.

"T-toorunii.." Cicit Tobio yang kedengaran oleh Tooru. Matanya yang setajam elang melirik pada rupa sang adik. Segera pemuda itu melepas cengkramannya dan meraih tangan Tobio. Mengajaknya pergi tanpa basa-basi lagi."

"Dia itu kenapa sensi sekali?" Ujar Matsukawa saat Tooru dan Tobio telah berlalu. Iwaizumi memegang pundaknya. "Seperti tidak kenal Tooru saja. Dia memang sensitif. Mungkin dia sangat menyayangi adiknya, sebaiknya kau jangan macam-macam."

"Hmm, kenapa? Adiknya kan laki-laki" Matsukawa masih mengomel.

"Tooru gay kau lupa?"

"Ahh iya.."

.
.
.

"Oniisan kenapa jalannya buru-buru.." Tobio sedikit tertatih saat berusaha menyeimbangi langkah Tooru. Pemuda itu lebih seperti menggeret dari pada menggandeng. Terlihat alis Tooru masih menukik membuat Tobio menelan ludah.

Sampai di rumah, tangan keduanya masih saling bertaut dan Tobio masih keheranan. "Nii-san.."

"Maaf.. " Dilepasnya tangan Tobio.

"Tidakpapa nii-san.." Tobio berjinjit untuk memegang pundak Tooru yang membelakanginya.

"Kamu begitu cantik Tobio. Aku ingin menyimpan dirimu untukku sendiri."

Tooru berbalik lalu memegang kedua pundak adiknya. Matanya membara, jantungnya berdentum kencang. Saat mata mereka mengunci saat itulah Tooru tidak tahan lagi.

"Aku tidak mengerti yang nii-san kata-"

Cup

Baru kemarin Tooru menahan diri dan sekarang ia tak dapat menahan perasaannya lebih lama.

Stigma (OiKage) ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang