Jyuu San

97 44 13
                                    

Disebuah mobil yang berisikan dua orang remaja emosional sedang dilanda keheningan, karena disepanjang jalan sangat menyeramkan. Pohon-pohon pinus menjulang tinggi dengan keadaan jalan yang berkelok, ditambah lagi cuaca tiba-tiba mendung, suara guntur pun mulai terdengar.

"Kei? Lo kalo mau mati gak usah ngajak—Mobil gue lecet woy!" Hampir saja mobil itu menabrak sebuah pohon tua.

"Demi apa gue deg-degan," Kei mengatur nafasnya sambil mengelus dada.

"Berasa uji nyali gue Kei." Sama halnya dengan Kei, jantung bocah bernama Niko pun berdetak hebat.

"Ketemu!" seru Kei kegirangan. Rumah mewah yang terlihat sudah tidak terurus itu menampakkan wujudnya. Banyak sekali bagian tembok yang mengelupas, cat yang sudah memudahkan, dan tanaman merambat memenuhi samping rumah.

Rumah sebesar itu, dilahan yang sangat luas ini hanya berdiri sendiri? Kesan horornya jelas terlihat.

"Niko?"

"Woy!" teriak Kei ditelinga Niko.

"Eh? Iya kenapa?" jawab Niko kikuk.

"Lo yang kenapa!"

"Gue? Gue gapapaa," Kei tidak memperdulikan kelakuan Niko, ia membuka pintu mobil dan langsung berjalan menuju teras rumah.

"Permisi...."

"Permisi..."

"Per—" Pintu rumah itu terbuka dengan sendirinya, memamerkan bagian ruang tamu yang sudah dipenuhi debu dan sarang laba-laba.

"Kei? Lo tau ini rumah siapa?" tanya Niko ketakutan, ia melihat jelas pintu tadi terbuka sendiri.

"Iya, gue tau. Why?"

"Terus ... lo mau masuk?" tanya Niko lagi.

"Kalo gak masuk, Ibu gue gimana?" Niko hanya bisa tersenyum saat mendengar perkataan yang keluar dari mulut Kei, karena memang tujuan mereka kesini kan untuk mencari bu Cahya.

"Yaudah lo duluan!" Niko mendorong Kei masuk dengan paksa. Kei menurut, melangkah pasti menuju beberapa tenpat yang masih ia ingat.

Ketegangan makin terasa saat detak jam dinding berbunyi tak beraturan, jam kuno itu nampaknya masih berfungsi sampai sekarang. Niko berjalan dibelakang tubuh Kei, mengikuti kemanapun temannya melangkahkan kaki.

Menit sudah berganti jam, matahari yang tadinya masih dipucuk kepala kini mulai tenggelam. Tapi Kei dan Niko belum mendapatkan apapun, satu petunjuk saja tak mereka dapatkan.

Kei dan Niko duduk dialas keramik yang sangat kotor, menelusuri seluruh isi rumah membuat mereka berdua sangat kelelahan. Kei mengacak-acak rambutnya frustasi, ia takut jika terjadi apa-apa pada ibunda tercintanya.

"Apa gue harus nyerah aja ya, Nik?" Kei menghembuskan nafas pasrah.

"Jangan ... bu Cahya butuh lo, Kei. Ibu lo lagi nunggu anaknya nyelametin dia," ucap Niko. Sejujurnya ia lelah, ingin merebahkan diri diatas kasur empuknya, tapi ia juga kasihan pada Kei yang sekarang sedang dilanda musibah.

"Kei, lo tau siapa orangnya?"

Sebelum Kei menjawab, sebuah botol plastik transparan terjatuh dari atas tangga. Tidak ada yang menarik dari botol itu sebelum Kei dan Niko menyadari bahwa ada secarik kertas coklat didalamnya.

Kei membuka tutup botol untuk mengambil isinya, gulungan kertas itu terasa berat dari kertas biasanya. Karena penasaran, Kei segar membuka tali yang mengikat kertas tadi dan terjatuhlah isi didalamnya.

Sebuah jari manis manusia yang sangat ia kenali karena warna kutek dan cincin emasnya. Kaki Kei melemas, dengan tangan yang gemetar ia mengambil jari manis itu. Secarik kertas kecil juga tersemat disela-sela cincin yang bertuliskan 'gudang'.

Kei menarik paksa tangan Niko, bergegas ke gudang yang ada dibagian belakang rumah. Niko masih mencerna apa yang sebenarnya terjadi, tapi dapat disimpulkan kalau Kei sudah menemukan tempat Ibunya dikurung.

Pintu gudang itu ditendang paksa oleh Kei. Dan benar saja, ibunya ditemukan tengan berdiri dihadapan seseorang yang membalikkan badannya, hanya terlihat punggung serta bagian kepala belakang yang  melihatnya bekas luka jahitan.

Cahya berdiri diatas sebuah kursi kayu, di lehernya sudah melingkar tali yang diikatkan pada kayu diatap ruangan.

Kei dan Niko terkejut, kedua remaja itu masih setia ditempatya. Mereka tau siapa orang yang sedang berbalik badan, luka dikepalanya sudah cukup menjelaskan siapa dia sebenarnya.

Pria itu berbalik, tersenyum ramah, kemudian memberikan tepuk tangan dengan nada yang menjengkelkan.

Pok

Pok

Pok

"Selamat, kalian berdua memang sangat cerdik."

Niko membelalakkan mata tatkala sebuah pisau melewati samping wajahnya, mungkin jarak antara wajah dan pisau hanya berkisara satu sampai dua cm.

Sekarang giliran Kei yang menahan nafas ketika pecahan kaca runcing berhenti sebelum mengenai mata kirinya. Dam Kei mengucap syukur sebesar-besarnya saat ini juga.

"Itu baru awal," pria itu tersenyum lagi.

Sedangkan Cahya? Ia tidak mampu berkata-kata, untuk menyambut nama anaknya saja ia kesusahan.

















Note: yang pernah hilang

4u+ || Hybe JapanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang