[ TAMAT - L O K A L ]
26 November 2021
Empat menjadi tiga, tiga menjadi dua, dua menjadi satu, sampai habis tak tersisa. Ketidaksengajaan membuat dendam menjalar hingga menutupi kebenaran itu sendiri. Bagaimana bisa dendam membunuh 4 nyawa secara be...
Tubuh lemah Niko digusur paksa oleh Kevin yang semakin menggila. Anak dari Bagas itu sepertinya sudah tidak memiliki rasa kasihan sama sekali. Tubuh Niko babak belur, banyak sekali luka yang mengeluarkan darah segar, terbayang bagaimana rasa sakitnya jika luka itu berbenturan dengan batu kerikil yang menyatu dengan tanah.
Kevin sebenarnya anak yang baik, walau bagaimanapun Bundanya, Siska, mendidik anak semata wayangnya itu dengan cara yang keren agar anaknya tumbuh menjadi anak yang cerdas. Namun sayang, matinya Siska membuat Kevin tumbuh dengan rasa dendam, walau semuanya hanya penuh dengan kesalahan fahaman.
Kalau ditanya apa Kevin terkejut dengan penuturan Kei? Jelas, dia sangat terkejut. Tapi Kevin tidak akan mempercayai orang seperti Kei. "Bunda lo bunuh diri, Kevin!" Persetan dengan itu.
Butuh waktu dua menit saja untuk Kevin mendaratkan tubuh Niko yang semakin memilukan. Niko dibiarkan meringkung bersampingan dengan sahabatnya, Kei. Dua anak laki-laki yang belum 'terbunuh' itu masih setia Kevin amati wajahnya satu persatu.
"Gue gak bikin lo babak belur karena gue udah hutang janji, Kei."
"Buat Niko, maaf, maaf udah bikin lo nanggung apa yang udah Kei lakuin. Mungkin lo sama Ezra cuman lukain fisik gue. Tapi Kei, dia udah ngelukain fisik sama mental gue."
"Entah omongan lo tentang Bunda yang bunuh diri itu beneran atau nggak, gue tetep teguh sama pendirian gue, sama dendam gue, sama cita gue buat bunuh Ibu lo, Kei."
"Gue depresi, maaf."
Begitu monolog Kevin sembari duduk bersimpuh diantara satu laki-laki yang belum sadarkan diri, dan satu laki-laki lagi yang tampaknya sedang berada diantara hidup dan mati.
Kevin menyadari akan perbuatan bejatnya, Kevin sadar kalau apa yang ia lakukan adalah kejahatan besar. Kevin juga ingin memanfaatkan mereka atau membuat mereka semua sadar. Tapi sayang, rasa dendam dan sakit hati sekaan mendominasi segalanya.
Kevin lalu keluar dari ruangan itu, ruangan berlantai panas yang sekarang sudah dalam keadaan normal, ruangan yang menjadi tempat matinya Cahya, ruangan tempat semuanya berakhir.
Dia kemudian merogoh kantong celananya, mengeluarkan smartphone untuk mengirim sebuah pesan singkat kepada orang tercintanya.
Setelah mengetik beberapa kata, benda itupun kembali dimasukkan pada tempat semula. Kevin lalu duduk dikursi yang tak jauh dari pintu, menunggu orang itu datang.

Senyum mendadak terbit disudut bibir Kevin saat Bagas datang dengan muka yang berpeluh. Mimiknya sudah tidak bisa dijelaskan lagi. Bagas berlari menghampiri Kevin yang sudah siap menyambut kedatangannya.
"Kenapa buru-buru?" tanya Kevin. Senyumnya masih tak luntur, masih setia menemani wajahnya yang tampan. Bukan begitu?
"Dimana ibumu?" Bagas mengguncang bahu anaknya, memaksa untuk segara memberitahu dimana keberadaan Cahya.
"Kenapa? Biasanya masa bodo?"
"Dimana ibumu, Kevin?!"
"Ibu Kevin, kan, udah mati beberapa tahun lalu." Kevin tidak pernah menganggap Cahya sebagai ibu sambungnya, hanya ada satu ibu bagi Kevin, dia adalah Siska. Sejahat apapun Siska, ia tetap ibu satu-satunya bagi Kevin. Keterlaluan? Tidak. Karena memang Cahya, pun, begitu. Jika boleh jujur, Cahya tidak pernah menganggap keberadaan Kevin. Itu sebabnya Kevin tidak tinggal bersama Cahya.
Bagas diam, mengalihkan pandangannya ke tempat lain.
"Jangan kaget gitu, Istri Ayah ada di dalem. Sama Kei juga," ujar Kevin. Kekehan pelan lalu menggantikan senyumnya. "Sok aja liat."
Dengan langkah lebar, Bagas membuka salah satu pintu dengan terburu-buru. Kevin lalu tersenyum lagi, senyuman kali ini bermotif apa kira-kira?
Setalah dirasa ayahnya itu sudah masuk, Kevin lalu menutup pintu, menguncinya dari luar.
Brak!!
Melihat itu, Bagas panik. Gedoran brutal dan kata makian lalu terdengar terdengar bersahutan. "BUKA, KEVIN! AYAH TIDAK PERNAH MENGAJARKAN KAMU UNTUK BERBOHONG!"
"Iya, Kevin nggak pernah di didik buat jadi pembohong. Buktinya kevin nggak nyakitin Kei sama sekali, karena Kevin inget janji ayah sama bu Cahya kalau dia minta anaknya nggak Kevin sakitin apalagi Kevin bunuh. Tapi ayah lupa, Ayah nggak pernah ngajarin Kevin buat gak bunuh orang. Kevin udah bunuh tiga orang, sisa dua lagi, Yah. Ayah mau bantu Kevin? Bantu genapin jadi enam?"
"Buka, Kevin!"
"Jangan gegabah!"
"Jangan jadi anak durhaka!"
"Bundamu bunuh diri! Bukan dibunuh!"
"Kevin!"
Sebagian anak yang berbakti, Kevin juga merasa berat. "Kenapa, Yah?"
"Buka, Kev. Kita selesaikan semuanya secara baik-baik. Kei dan Ibunya itu orang baik!"
"Baik apanya? Dia udah bikin muka Kevin babak belur dan hampir mati dulu."
"Itu dulu, bukan sekarang!" Bagas mengeluarkan seluruh suaranya. Meyakinkan sang anak agar tidak melewati batas.
"Bedanya apa?"
"Kamu gak akan faham! Kamu itu seperti Siska, ceroboh dan keras kepala!"
"Bukan Bunda yang ceroboh, tapi Ayah yang bodoh."
Bagas tidak merespon, ia terlalu sakit hati untuk menjawab kata terakhir yang Kevin lontarkan.
"Ayah dulu bilang kalau Kevin udah meninggal, kan? Sekarang Kevin wujud'in itu, tapi Ayah juga harus meninggal. Supaya imbang."
Kevin mengabaikan kata-kata ayahnya yang menyebutkan kalimat tidak dan sebagainya. Ia lalu mengambil dua botol bensin untuk disebarkan rata ke setiap sudut bangunan itu. Satu batang korek kayu yang sudah terbakar dibagikan atas itu dilemparkan asal, membuat api menyebar dengan cepat.
Kevin tertawa keras, kewarasannya sudah semakin hilang. Melihat tiga orang yang masih bernyawa dan satu mayat terbakar didepan mata, menjadi pengalaman yang menarik, sangat melegenda. "Ayah kalah."
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.