Kisah Julian : Keluarga Handoko [Part 18]

3K 135 0
                                    

Berdiri di depan ruangan kelasku, aku menunggu kedatangan Oliver yang mulai dari istirahat sama sekali tidak muncul batang hidungnya. Begitupun dengan Angga, aku sudah mengecek ke kelasnya dan menurut kesaksian temannya, di juga menghilang seperti Oliver. Sebenarnya, aku juga sempat pergi ke kamar mandi tempat terakhir kali aku bertemu dengan keduanya, di sana juga sepi dan tidak ada seorang pun. Makanya, aku bingung ke mana perginya dua bocah itu.

Terlebih, keduanya meninggalkan tas di kelas. Ini menandakan keduanya masih berada di suatu tempat di dalam sekolah, tapi tepatnya ada di mana? Aku mencoba berkali-kali menelpon keduanya dengan menggunakan ponsel milikku satunya, tapi tidak juga ada yang mengangkat.

Aku berpikir dengan keras. Sambil memeluk kedua tas temenku itu, aku berjalan kembali menuju ruangan Angga. Siapa tau kan, dia sudah kembali ke kelasnya? Namun, di tengah perjalanan, ponselku tiba-tiba berbunyi dari dalam saku celana.

Aku pun memutuskan untuk berhenti sejenak dan mencari posisi duduk yang nyaman di kursi terdekat yang ada di koridor. Segera kuambil ponselku dan kulihat siapa sebenarnya yang meneleponku. Ternyata, orang tersebut adalah Pak Gulam, salah satu supir pribadi keluarga kami yang bertugas mengantar jemput aku dan Rama. Sebenarnya Erik juga termasuk, tapi karena dia lebih suka naik motor sportnya sendiri jadi biasanya hanya aku dan Rama.

"Halo, Mas? Mas Julian sekarang ada di mana ya? Bapak sudah sampai di tempat biasa nih Mas."

Terdengar suara khas Pak Gulam dari seberang sambungan telpon.

"Oh, iya Pak. Ini saya masih ada keperluan di sekolah. Rama sudah ada di sana Pak?"

"Iya Mas, ini Mas Rama sudah di dalam mobil sama Bapak. Gimana Mas? Mau Bapak sambungkan dengan Mas Rama?"

"Ga usah Pak, titip pesan aja sama Rama kalau saya masih ada keperluan di sekolah bareng Oliver sama Angga. Bapak sekarang antar pulang Rama aja, saya nanti bisa pulang bareng teman saya."

"Oke Mas, kalau begitu Bapak pulang duluan ya Mas."

Sambungan telpon pun terputus, aku kembali memasukan ponselku ke dalam saku celana. Kembali aku bangkit dan berjalan menuju ruangan kelas Angga. Setibanya di sana, aku masih tidak menemukan keberadaannya. Kini ruangan itu sudah sepi, bahkan koridor sekitar ruangannya pun sudah tidak ada orang yang berlalu lalang. Sepi dan sunyi, aku yang merasa sedikit merinding pun memilih untuk buru-buru meninggalkan tempat itu dan mencari tempat yang sekiranya lebih ramai.

Setelah berjalan cukup lama menyusuri koridor, sampailah aku di depan deretan ruangan para guru. Beberapa kali aku berpapasan dengan para guru yang saat itu hendak pulang. Sebenarnya, aku cukup parno takut-takut kalau aku berpapasan dengan Pak Bram. Namun, untunglah sampai saat ini tidak ada tanda-tanda kemunculannya.

"Sial, ke mana sebenarnya anak itu?" Dalam hati aku mengutuk Oliver dan Angga karena sudah membuatku repot mencari keduanya.

Pasalnya, jika terjadi sesuatu pada kedua anak itu, aku akan merasa bertanggung jawab karena sudah menyerahkan ponselku yang berisi video Pak Bram dengan Erik dan teman-temannya. Aku sama sekali tidak bisa tenang kalau belum tahu keberadaannya.

Di saat aku mulai frustasi dan posisi tubuhku tengah menyender pada dinding, terdengar samar sebuah jeritan yang datang dari arah ujung koridor. Aku pun refleks menoleh ke arah datangnya asal suara. Koridor yang sangat sepi dan minim dengan penerangan itu. Ingatanku pun kembali pada pagi hari tadi saat aku mengunjungi ruangan Pak Bram.

Mungkinkah?

Jantungku langsung berdegup cepat saat pikiranku mulai menerka kalau hilangnya Oliver dan Angga ini mungkin ada hubungannya dengan Pak Bram. Tidak menunggu waktu lama, aku pun segera beranjak pergi ke arah ruangan Pak Bram. Sambil mengatur napas, aku mencoba menenangkan diriku dan bersiap agar tidak terkejut dengan apa yang akan kulihat nanti.

Sesampainya, aku pun kembali mengintip di tempat yang sama seperti sebelumnya. Kulihat keadaan di dalam sana dan benar saja, aku berhasil menemukan Oliver dan Angga yang tengah bersantai di sofa bersama dengan Pak Bram. Keduanya terlihat tengah bertelanjang dada dan dengan posisi tengah memeluk Pak Bram yang berada di tengah keduanya. Pak Bram sendiri lebih mengejutkan karena masih dalam keadaan telanjang bulat.

Ketiganya nampak tengah berbincang santai. Kulihat Oliver bahkan tertangkap basah oleh kedua mataku sedang memainkan jemarinya di atas dada bidang milik Pak Bram dan sesekali tertawa bersama dengan gurunya itu.

"Shit!"

Aku kehabisan kata-kata setelah melihat pemandangan di dalam ruangan itu. Segera aku pun membanting kedua tas milik Oliver dan Angga lalu berjalan pergi meninggalkan tempat itu. Di saat aku sudah berjalan cukup jauh, samar-samar aku mendengar panggilan dari arah belakangku. Namun, meski aku tahu dan bisa menebak kalau itu suara Oliver, aku memilih untuk mengabaikannya.

Hari ini cukup sampai di sini.

Semua yang menimpaku baru-baru ini, sungguh membuat aku sakit kepala. Aku sangat muak. Mulai dari Erik, Pak Bram, dan bahkan Pak Felix yang merupakan salah satu guru yang aku segani dan hormati, tapi justru malah menuntunku ke arah yang tidak semestinya ini. Juga, mengapa tidak ada seorangpun dari pihak sekolah ini yang menyadari apa yang sudah dilakukan Pak Bram dan Pak Felix? Apa jangan-jangan sebenarnya pihak sekolah sudah tau, tapi memilih untuk tetap diam?

Masih ada banyak pertanyaan yang terlintas dalam pikiranku. Beberapa teori gila bahkan bermunculan di benakku, contohnya adalah teori gila yang menyatakan kalau di sekolah ini sebenarnya masih ada banyak orang-orang yang memiliki penyimpangan seperti mereka ini, tapi belum terekspos saja. Mungkin bisa jadi guru lainnya, atau murid-murid lain seperti Erik dan teman-temannya? Namun, teori-teori gila seperti itu hanya sekilas datang dan dengan cepat aku singkirkan.

Bayangkan saja satu sekolah isinya semua pria penyuka sesama jenis. Memikirkannya saja sudah membuatku merinding. Bagaimana suatu saat semuanya terbongkar di hadapan publik? Apa yang akan terjadi pada pihak sekolah? Juga, keluargaku pasti akan terkena imbasnya juga karena selaku pemilik dari yayasan sekolah ini.

Haruskah masalah ini aku ceritakan kepada Om Nathan? Kalau Tante Uti mungkin aku tidak akan sanggup karena terlalu malu menceritakan kejadian di antara aku dan Pak Felix, serta apa yang telah dilakukan anaknya sendiri yaitu Erik terhadap Pak Bram selaku gurunya. Tante Uti mungkin akan langsung pingsan jika aku ceritakan. Mungkin jika orang itu Om Nathan, akan jauh lebih baik.

Semua ini harus cepat ditangani dan diselesaikan. Aku sendiri sebenarnya masih memilih menolak untuk menjadi penyuka sesama jenis, meski awalnya jujur saja aku sempat merasa menikmatinya. Namun, itu bukan pilihanku, aku berada di luar kendali, dan sekarang aku merasa menyesal karena sudah mengikuti hawa nafsuku yang menyimpang itu. Semoga, setelah bercerita dengan Om Nathan, aku mendapatkan jalan keluar dari masalah ini dan bisa secepatnya kembali menjadi diriku yang normal seutuhnya.

Semoga saja.

Kisah Julian : Keluarga Handoko ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang