Kisah Julian : Keluarga Handoko [Part 24]

2.8K 110 2
                                    

Pagi berikutnya, aku terbangun dengan kondisi kedua mata yang terasa sedikit bengkak. Tidak tau seberapa banyak air mata yang telah aku habiskan semalam. Meskipun aku sudah berusaha untuk tidak menangis dengan memejamkan mataku, tapi tetap saja air mataku ini keluar dengan sendirinya tanpa bisa aku cegah. Selama hampir sejam aku terus menangis dan tidak bisa tidur setelah mengalami kejadian itu. Kira-kira sampai jam tiga pagi yang artinya aku hanya tidur selama dua jam, sehingga badanku terasa pegal-pegal dan remuk sepenuhnya.

Selain itu, perutku rasanya tidak karuan. Juga, lubang duburku rasanya nyeri dan panas seperti terbakar. Sangatlah tidak nyaman, aku pun segera bangkit dari kasur dan hendak berjalan ke araj kamar mandi untuk mengeceknya. Tidak ada yang aku tahu, pasalnya ini adalah pengalaman pertamaku. Aku khawatir sesuatu yang buruk terjadi pada duburku mengingat kejadian semalam. Bayangkan saja, lubang yang sangat kecil ini dibobol paksa oleh benda tumpul seukuran terong! Jika dipikir-pikir lagi, aku menjadi merinding sekaligus bingung.

Bagaimana bisa ya aku masih hidup dan selamat dari insiden semalam? Lebih tepatnya mengapa saat itu aku begitu keenakan dan sangat menikmatinya? Aku bertanya-tanya dalam hati sembari melepas semua pakaianku dan menaruhnya ke dalam keranjang pakaian kotor. Namun, tiba-tiba saja....

Shit!

Ini darah?

Begitu aku selesai menaruh pakaianku ke dalam keranjang, aku baru sadar kalau celana bokser yang aku gunakan sudah berwarna merah pada bagian belakangnya. Terkejut dengan apa yang terjadi, aku pun bergerak cepat pergi ke luar kamar mandi dan berjalan ke arah cermin. Sesampainya, aku pun membalik badanku dengan posisi kepala yang memiring.

Jelas sekali ada bercak noda darah yang sudah mengering di sekitar selangkanganku dan pantatku. Buru-buru aku pun kembali ke dalam kamar mandi dan membersihkan seluruh tubuhku. Rasa sakit kembali menjalar di bagian duburku saat aku menyiramkannya dengan air. Aku pun meringis seraya mencoba menahan rasa sakit itu.

Sekitar tiga puluh menit aku menghabiskan waktu di kamar mandi. Sampai pada suatu ketika aku baru selesai keluar dari kamar mandi, suatu ketukan pintu terdengar dari arah luar kamarku.

"Julian, ini Om. Bisa tolong buka kamarnya? Ada sesuatu yang ingin Om bicarakan denganmu."

Mendengar suara yang tak asing itu, nafasku mulai sesak dan perasaan kesal dan kecewa pun mulai merayap kembali di benakku.

"Maaf Om, tolong jangan bicara lagi. Julian lagi butuh waktu sendiri."

"Baik, jika kamu memang butuh waktu. Om akan tunggu sampai kamu siap bicara dengan Om. Mengenai yang semalam, itu benar-benar di luar kendali Om. Jadi...."

"Fuck!"

Aku refleks berteriak sejadi-jadinya, aku tidak peduli lagi dengan formalitas di antara kita. Bagaimana bisa aku menganggapnya masih sebagai omku? Setelah dia dengan dengan teganya membiarkan keponakannya sendiri ini dilecehkan oleh teman-temannya. Air mataku benar-benar pecah saat itu juga. Padahal, sejak bangun tadi aku sudah mencoba untuk melupakannya.

"Maafkan Om, Julian."

Setelah mengatakan itu, aku mendengar langkah kakinya yang pergi meninggalkan kamarku. Dengan tubuh yang masih dalam kondisi setengah basah dan hanya terbungkus oleh handuk, aku pun sejenak duduk di atas kasur seraya mencoba menenangkan diriku ini. Tarik napas lalu buang napas.

Aku terus mencoba meyakinkan diri sendiri bahwa semuanya akan baik-baik saja. Tidak masalah jika kedepannya aku akan menjadi apapun itu. Kembali lagi, pilihan ada di tanganku. Akulah yang akan menentukan jalan hidupku nantinya seperti apa. Aku harus bahagia, karena hanya dengan begitu kedua orang tuaku akan tenang di atas sana.

Kisah Julian : Keluarga Handoko ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang