Kisah Julian : Keluarga Handoko [Part 7]

4.4K 169 0
                                    

Aku berjalan meninggalkan kantin. Namun, sebelum itu aku sempatkan menoleh ke kanan dan ke kiri untuk memastikan sekali lagi bahwa tidak ada Erik di sekitar kantin. Setelah yakin, sesaat aku pun menghela napas berat. Aku pun meyakinkan diri sendiri bahwa semuanya akan baik-baik saja. Memangnya, apa yang perlu ditakutkan? Aku hanya perlu ke belakang sekolah dan menyampaikan pesan Pak Gunawan kepada anak itu. Lagipula, ini masihlah di sekolah. Erik tidak mungkin berbuat sesuatu hal yang buruk padaku dan juga dia tidak mungkin membiarkan teman-temannya mengerjai aku. Meskipun aku tahu dia tidak suka padaku, tapi aku ini masihlah sepupunya.

"Baiklah, beranikan dirimu Yan." Aku berkata dengan nada pelan.

Aku pun melanjutkan langkahku pergi menuju belakang sekolah.

Jarak dari kantin ke belakang sekolah menurutku cukup jauh sih ya. Secara, kantin sekolah ini berada di arah tenggara, dekat dengan parkiran motor dan gerbang depan sekolah, sedangkan belakang sekolah ya adanya udah pasti di belakang sekolah. Untuk bisa sampai tujuan, aku harus melewati beberapa lorong bangunan sekolah seperti depan ruangan guru, lapangan basket outdoor, ruangan staff, ruangan kelas, taman depan, dan taman belakang. Sungguh terlalu, setelah aku berjalan sampai lapangan basket saja aku sudah ngos-ngosan. Aku baru menyadari kalau sekolah ini ternyata sangat besar sekali.

Aku benar-benar lelah dan kehabisan napas. Sejenak aku pun mengelap keringat yang membasahi jidat, sembari menoleh ke sana ke sini, berharap bahwa Erik menunjukan batang hidungnya di tempat itu. Namun, tiba-tiba saja bukan Erik yang diharapkan muncul, malahan beberapa murid perempuan menghampiriku. Lagi dan lagi, mereka pasti ingin mencari perhatian dariku. Bukannya sombong ya, tapi justru aku malah merasa terganggu dengan sikap mereka yang berlebihan.

"Mas Julian, ini aku bawain minum. Pasti Mas Julian capek banget kan ya?"

"Mas, Mas, ini aku bawa sapu tangan. Sini aku lap keringatnya Mas."

"Mas, aku bawa...."

Stop, kalian semua membuatku naik darah. Sebelum suasana semakin runyam, seperti biasa aku pun dengan malas mengambil semua barang pemberian dari mereka dan berpura-pura tersenyum hangat.

"Ini gua terima, makasih ya semua." Aku tidak ingin berlama-lama dan berniat pergi meninggalkan mereka.

Namun, tiba-tiba saja ide brilian muncul di kepalaku. Daripada aku capek-capek pergi ke belakang sekolah, mendingan aku suruh mereka yang pergi ke sana untuk menyampaikan pesan Pak Gunawan. Cara ini mungkin perlu dicoba?

"Kalian dari kelas mana?" tanyaku.

"Aku dari kelas sepuluh mia empat Mas."

"Aku juga."

"Aku juga sama, Mas."

"Kalian lagi buru-buru ga? Kalau engga sibuk, mau bantuin gua ga?"

"Bantuin apa, Mas?" tanya salah satu dari mereka.

"Ini gua sebenarnya lagi nyari Erik. Mau menyampaikan pesan dari Pak Gunawan ke anak itu supaya nanti dia masuk kelas di pelajaran berikutnya habis istirahat."

"Duh maaf, Mas. Kalau itu kayanya aku belum bisa bantu. Tapi, tapi, ini bukan karena aku ga mau bantu Mas, tapi gimana ya Mas, tau sendiri ya kan Mas Erik itu orangnya kaya gimana. Jujur aja aku takut."

Mereka bertiga menjawab dengan sepakat kalau mereka tidak bisa membantuku karena tidak berani bertemu langsung dengan Erik. Yah, mau bagaimana lagi? Di sini aku yang salah karena terlalu berharap bahwa mereka bakal membantuku sih.

"Oke ga papa, sekali lagi makasih ya." Aku merujuk pada barang-barang yang diberikan mereka sebelumnya.

"Mas, Mas Julian! Tunggu dulu Mas."

"Kenapa lagi? Berubah pikiran?"

"Eh? Bukan..." Salah satu dari mereka menggaruk kepalanya yang tidak gatal sembari tersipu malu.

"Oke, terus?"

"Gini Mas, tadi Mas Julian bilang kalau lagi nyari Mas Erik, kan?"

Aku hanya membalas dengan anggukan kecil sambil memiringkan salah satu alis dan tersenyum.

"Aku pikir daripada Mas Julian pergi ke belakang sekolah dan malah ga ketemu Mas Erik, lebih baik Mas pergi ke ruangannya Pak Bram deh. Soalnya, tadi pas pelajaran kedua, pas aku pergi keluar untuk ke toilet, aku sempet ngeliat dari jauh kalau Mas Erik sama beberapa temannya jalan sama Pak Bram. Kalau diliat dari arahnya sih kayanya mau pergi ke ruangannya Pak Bram."

"Ini kamu beneran yakin? Ga salah orang kan?" tanyaku ragu.

"Yakin Mas, lagian emangnya di sekolah ini ada Mas Erik yang lain?"

"Oke, gua percaya. Makasih ya infonya. Kalau emang benar Erik ada di ruangan Pak Bram, gua janji, besok kalian bertiga gua traktir makan sepuasnya di kantin," kataku dengan wajah penuh bersyukur. Di sisi lain, ketiganya pun menjerit histeris karena senang.

"Beneran loh ya Mas!"

"Iya, iya."

Aku tidak keberatan mentraktir mereka karena aku rasa itu setimpal karena mereka sudah sangat membantuku. Pasalnya, lokasi ruangan Pak Bram dengan lapangan basket itu bisa dibilang lumayan dekat. Kalau dikira-kira palingan jaraknya kurang lebih dua puluh meter. Daripada pergi ke belakang sekolah, masih jauh, semoga aja perkataan anak-anak ini benar.

"Oh iya, aku malah lupa nanya. Nama kalian bertiga siapa ya?"

"Ih, Mas Julian!!!!!!"

Kisah Julian : Keluarga Handoko ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang