"Hai."
Satu salam terucap antara dua sosok yang terbaring di ranjang pasien yang saling berjajaran. Cantika baru saja membuka mata.
Siul bunyi bersahutan dari dahan pohon di luar gedung.
Ini sudah pagi.
Jessi memilihkan Cantika ruang rawat kelas 1. Ada dua ranjang dalam satu kamar. Terpaksa. Susunan jadwal tidak boleh mundur. Dalam keadaan setengah sadar, Cantika menggertak 3 orang tim lainnya agar mengunci mulut rapat tentang kondisi si sakit di IGD kemarin. Konsekuensinya, mereka jadi tidak punya alasan pending bekerja demi menunggui news anchor cantiknya yang sedang tergolek lemah.
Di ruang rawat lantai 4 Rumah Sakit Gajah Mada ini, Jessi merasa lebih aman meninggalkan Cantika.
Udara sejuk mengalir pelan dari jendela jika dibuka. Aroma pepohonan raksasa dan tanah basah terasa menenangkan bak aromaterapi diffuser di kamar Cantika. Mentari menyorot hangat membingkai bayangan kusen-kusen putih kamar.
Perempuan itu tertidur nyenyak efek kerja injeksi antinyeri. Ia bangun sejenak lantas terlelap kembali saat Jessi telah pamit berburu materi berita mulai pukul 6. Jessi berjanji akan cepat kembali. Maksimal pukul 4 sore. Diam-diam, Jessi juga telah menitipkan Mbak Tika yang amat cantik namun pucat pada perawat dan sepasang sejoli di sebelah tadi pagi.
"Hai."
Tirai tertinggal dalam keadaan terbuka. Cleaning service barusan lupa menutup pembatas antar bilik warna cream tersebut. Beruntung, pria penunggu pasien sebelah sedang tak kelihatan batang hidungnya.
Perlahan, bau karbol menyeruak menggeser aroma bekas gerimis yang sejak tadi mengguyur bumi. Saling mengganti udara. Namun, ini tetaplah lebih baik. Daripada aroma amis darah dan anyir mayat, Cantika harus menutup hidung. Mantan reporter itu bukannya takut rumah sakit. Ia terlalu bosan berkunjung ke gedung tempat orang-orang berada di titik lemahnya ini. Beberapa kali menjemput, menemui, mengantar anggota keluarga juga ujung-ujungnya ke titik yang sama. Bernama rumah sakit.
"Kayaknya saya pernah lihat Mbak. Tapi dimana ya?"
"Mungkin, Mbak lihat saya di acara berita di ATV. Saya salah satu host di sana."
Lawan bicara yang sama pucatnya menerbitkan wajah berseri-seri.
"Pantas! Nggak asing. Kenalin, saya Sarah. Aduh maaf, nggak bisa salaman." Sarah menangkupkan kedua tangan. Jarak mereka terbaring 2 meter. Sarah ramah sekali. Senyumnya tulus. "Sama-sama orang Jakarta terdampar di Jogja, ya, berarti kita. Tepatnya, di rumah sakit."
Keduanya menarik sudut bibir. Memecah kaku sepasang teman yang baru saja berkenalan.
Kalau melihat domisili, seharusnya Cantika menjawab dia adalah anak Banten. Rumah Cantika di BSD. Namun, untuk apa bicara terlalu banyak pada orang asing, walaupun ia terlihat baik? Membatasi informasi jauh lebih aman.
"Saya, Tika. Kalau boleh tahu Mbak sakit apa? Sudah lama ya?" Sifat kepo maksimal Cantika keluar.
"Baru kemarin masuk. Makan nggak teratur, pedas, terlalu banyak aktivitas, lupa waktu, bisa tebak kan?" Sarah tersenyum usai memberi beberapa clue pada Cantika. "Mbak sakit apa?"
"Kurang lebih sama sepertinya. Ya begini lah. Saya juga nggak begitu paham," kilah Ratu Tipu-tipu dalam canda samar. Ia bukan orang medis, tapi untuk tahu dan mengerti betul apa yang dialaminya, bukan perkara sulit.
--------
"Udah mau pulang, Mbak? Jessi-nya nggak jemput?"
Masuk 2 hari Cantika dirawat. Saat kunjungan tadi, dokter mengizinkannya pulang. Nyeri teratasi, rawat jalan bisa dilakukan. Bagaimana soal sumber masalah? Cantika menolak mengikuti saran dokter dan memilih beralasan akan melanjutkan pengobatan di dokter langganannya di ibu kota.
KAMU SEDANG MEMBACA
(END) Senyummu Tampak Tak Baik-Baik Saja
RomanceApakah kesempurnaan selalu jadi tolak ukur kesuksesan manusia? Tidak bagi Cantika. Seorang mantan finalis ratu sejagad, yang kesulitan menemukan pendamping di usia kelewat kepala empat. Petualangan cinta sebelumnya, tak bisa dijadikan acuan seseora...