22. Candaan Bocah

4.1K 900 25
                                    

"Hei ... gue nggak papa. Patah doang. Belum innalilahi."

Terlalu banyak berteman dengan mayat, candaan Pahlevi sekelas ngeri-ngeri sedap. Walaupun begitu, berhasil memunculkan sepasang lekuk di pipi Cantika. Padahal tadi muka Cantika sudah sembab. Ia tertawa saat hampir meloloskan genangan air mata untuk ke sekian kalinya. Anak sulung Mama Hayati ini menangis parah ketika tadi melihat si Badan Bongsor yang kepala, tangan dan kakinya berdarah-darah, diangkut ke mobil. Apalagi, lengan kanan itu, tidak bisa digerakkan.

Dua rombongan mobil berkejaran ke rumah sakit. Rombongan para wanita dan pria terpisah. Wanita mengendarai mobil dalam kotanya dengan Cantika bertindak sebagai sopir. Sedangkan, tim pria mengendarai mobil yang hanya bisa menerima ukuran tubuh Pahlevi. Hampir saja Bapak Muchtar memerintahkan tim pengawalan tapi Pahlevi menolak. Menurutnya, reaksi keluarga besarnya terlalu berlebihan. 

"Gue jadi ingat adik gue. Gue kangen Rara."

Cantika kebingungan. Ia pikir alasan barusan adalah yang paling tepat mengapa ia menangis menghadapi kengerian sebelumnya. Antara takut kehilangan seseorang yang baru dikenalnya atau rindu yang sedang memuncak pada adik semata wayang yang kini terpisah jarak ribuan kilometer. Seharusnya, ini hanya rindu. Ia tidak bisa membayangkan jika kejadian naas yang menimpa pria berkaki jenjang di hadapannya, terjadi pada adik kandung kesayangan.

"Bentar lagi juga balik. Lo telepon aja."

"Nggak bisa. Susah sinyal di sana."

Pahlevi baru sadarkan diri usai menjalani operasi hampir 4 jam lamanya. Ia membuka mata setelah suster membawanya dari ruang recovery operasi menuju kamar rawat. 

"Yang lain kemana?"

Manik Pahlevi mengedar mencari tim hore yang tadi mengiringinya menuju rumah sakit. Meski dalam keadaan setengah sadar menahan nyeri, ia yakin bala tentaranya tadi tak kurang dari 5 orang. Kini, hanya tertinggal Cantika dan Mami Didi di siang dimana matahari dari luar jendela menyorot begitu tajam. Bapak Menteri, sekretaris pribadi dan sopir telah kembali ke rumah. Menyambut persiapan pernikahan Andra yang tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Bude Retno mewakili Mami Didi yang tak kalah bersedihnya, dalam acara arisan ibu-ibu hits Bandung. Sekadar cipika-cipiki, setor muka, lantas Bude Retno akan kembali ke Dago untuk melanjutkan rencana pengajian besok. 

"Pulang. Gue bangunin Tante dulu ya?"

Pahlevi menahan Cantika yang hampir bangkit. Ia jauh lebih segar sekarang lantaran hanya ada seorang perempuan yang tidak akan berani menghukum kenakalan dirinya. Jika Mami Didi dibangunkan, dijamin Pahlevi takkan lepas dari omelan sayang sang ibu.

"Nggak usah. Biarin! Kalau ada waktu tidur, biarin Mami tidur."

Selain itu, Pahlevi juga sadar jika maminya kurang tidur beberapa hari belakangan, memikirkan pernikahan anak kedua. Pahlevi tidak ingin membangunkannya selagi kantuk memeluk sang ibu. Mami Didi adalah tipe perempuan yang setiap selesai menangis, akan kelelahan, mengantuk, lantas jatuh tertidur.

Sebuah ranjang rendah nyaman di sudut ruangan, tepat di depan ranjang pasien, memanjakan lelap ibu 7 anak itu. Berselimut tebal hingga menutupi dada. Hembusan nafasnya damai. Ruangan rumah sakit bernuansa soft gold itu pun terasa tenang.

Canggung tiba-tiba menyergap dua insan tanpa ikatan di sana. Cantika sadar. Ia tidak seharusnya di sini. Perempuan berpakaian sama dengan yang semalam ia pakai itu, bangkit. Berniat hendak pergi.

"Gue—"

"Kenapa belum pulang?"

"Nah benar! Ini mau pulang."

"Oke."

Baru beberapa langkah Cantika meninggalkan Pahlevi, ia berbalik. Perempuan itu baru teringat apa tujuan utamanya menunggui Pahlevi di sini sejak tadi. Sekaligus, menjawab pertanyaan mengapa dirinya rela naik kereta dan menyuruh Jessi, Shandy juga Pak Rahmat berangkat lebih dulu.

(END) Senyummu Tampak Tak Baik-Baik SajaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang