20. Tamu Tak Diundang

4.3K 943 41
                                    

Jalur paving dengan lampu kerlap-kerlip yang tadi ia nikmati saat masuk, tertutup sempurna oleh sosok pemilik tinggi 190 cm. Sepasang bahunya begitu lapang, hingga Cantika tak mampu mengintip ke arah mana, jemari besar itu menarik ujung kain lengan sayapnya.

Cakupan jarak kaki pria berbusana serba hitam ini amat lebar. Cantika yang hanya bermodal sepatu jenis wedges, tertatih menyamakan langkah. Bukti, jika ia memang salah kostum berada di tempat yang tidak seharusnya. Salahkan Jessi.

Cantika pasrah.

Otaknya buntu.

Sepengetahuan batinnya, pria ini orang baik. Beberapa kali menawarkan pertolongan kala jalan keluar terasa amat acak dan sulit diraih.

Rambut gondrong berombak itu turut terombang-ambing dalam perjalanan panjang namun dipangkas singkat ini. Hingga tiba di satu titik bahu jalan, yang mendadak dipergunakan oleh para penikmat malam pergantian masa, sebagai parkir paralel kendaraan roda empat.

"Lepass!! Ada telepon."

Dering ponsel dari dalam tas selempang berbahan rotan menginterupsi keduanya. 

Cantika berusaha mencipta jarak dengan mengurai kaitan yang ada. Di hadapannya, terparkir sedan hitam legam sarat kemewahan dengan mesin masih menyala. Sekilas, ada sesosok pria di bangku kemudi dan seorang wanita berkerudung di belakang karena lampu mobil dinyalakan. 

"Oke. Maaf. Bukan sengaja. Cuma mau lo agar ngikutin gue aja."

Kaitan itu terlepas.

"Gue ikutin kalau lo ngomong baik-baik. Bukan asal narik-narik begini," Cantika menggeram.

"Oke. Sekarang ikut gue!"

Kaca mobil terbuka oleh seorang wanita paruh baya berhidung mancung terbengong melihat pemandangan di sana. Anak lelakinya membawa seorang wanita? Bukannya tadi ia pamit hanya untuk membawakan titipan oleh-oleh untuk sahabat pemusiknya dari Jakarta?

"Mau kemana? Jessi telepon. Gue angkat dulu!"

Cantika masih betah berdebat, usai membungkuk sebentar memberi hormat pada wanita tua yang Cantika pikir agak terganggu oleh adu mulut keduanya. Sebelum ia menyingkir lantaran rasa tak nyaman telah menghalangi jalan, Pahlevi lagi-lagi menarik tas rotan itu.

"Angkat telepon kalau udah masuk. Masuk!" 

Pintu mobil terbuka makin lebar. Cantika terkesiap. Jadi, siapakah gerangan perempuan bergaya wah yang tadi ia tundukkan hormat?

"Eleuh eleuh, ieu neng geulis arek naon kamu bawa kadieu, Levii?!"

Cantika mematung. Ia mendapat banyak kejutan malam ini. Seulas kata pun tak mampu keluar dari bibir merah merekahnya.

"Ceritanya panjang. Masuk dulu! Harus cepat-cepat kabur. Dia dikejar massa, Mi."

"Eleuh eleuh. Ayo ayoo ah!"

-----------

Cantika memasuki rumah dengan pagar dinding bata tinggi dan gerbang ukir di tengah kota Bandung. Takjub. Ini lebih mirip rumah ala keluarga keraton Jogja dibandingkan rumah gedong masa kini khas pejabat.

Ia masih terjaga sepanjang perjalanan, yang seharusnya beberapa menit berubah menjadi hitungan jam, lantaran arus padat merayap.

Mami Didi mewawancarai si ahli wawancara dalam waktu krusial tersebut. Bukan layaknya mengejar jawaban narasumber panas, melainkan memperlakukan Cantika sebagai wanita anggun dengan segala wife material melekat di dirinya. Siapa tahu, jika suatu hari salah satu anaknya masuk masanya terjangkit virus merah jambu, ia akan mengenalkan Cantika sebagai salah satu calon. Entah Faiz atau Ghazi yang kuliahnya hampir rampung. Atau, Pahlevi yang Mami Didi belum tahu apakah hatinya telah siap berpindah haluan atau belum. Andai Mami Didi tahu berapa usia Cantika, ia sendiri pasti akan geleng-geleng.

(END) Senyummu Tampak Tak Baik-Baik SajaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang